*-* PROFESIONAL NURSE *-* ENDOSKOPI SALURAN CERNA DAN PERNAFASAN *-* *-* INSTAGRAM *-* @bayuajisismanto *-* *-* ENDOSCOPY UNIT *-* GASTROSCOPY, KOLONOSCOPY, BRONCOSCOPY, DUODENOSKOPI *-*

CARI INFORMASI DISINI

POSTINGAN TERPOPULER

Wednesday 26 July 2017

LP STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN CIDERA KEPALA by admin 06051994


LAPORAN PENDAHULUAN
STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN
CIDERA KEPALA

  1. PENGERTIAN
Cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak, duramater, pembuluh darah serta otaknya mengalami cedera baik yang trauma tertutup maupun trauma tembus (Satyanegara, 2010). Cedera Kepala juga dapat didefinisikan sebagai kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer, 2000). Sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak. (Fearnside, 1997).
  1. PENYEBAB
Etiologi atau penyebab dari trauma kepala ini antara lain :
  1. Kecelakaan lalu lintas/industri
Dari kebanyakan kasus trauma yang terjadi, kecalakaan lalu lintas adalah penyebab terbanyak. Baik itu kecelakaan lalu lintas darat, air dan udara.
  1. Jatuh dari suatu ketinggian
  2. Benturan benda tajam/ tumpul
  3. Trauma pada saat kelahiran
  4. Benturan dari objek yang bergerak (cedera akselerasi)
Kejadian yang termasuk cedera akselerasi adalah ketika seseorang berjalan, kemudian tiba – tiba tertabrak mobil dari belakang. Pada kejadian akselerasi jantung akan bekerja dengan kecepatan yang telah dipercepat ( kerja jantung semakin cepat ) sehingga dapat berakibat fatal pada penderita.
  1. Benturan kepala pada benda padat yang tidak bergerak (cedera deselerasi)
Kejadian yang termasuk cedera deselerasi adalah ketika sebuah mobil menabrak pohon. Pada kejadian deselerasi, sebuah benda yang memiliki kecepatan akan dihentikan secara mendadak. Sehingga jantung yang pada awalnya bekerja sesuai dengan kecepatan sebelumnya, akan tiba – tiba dihentikan secara mendadak. Hal ini akan dapat mempengaruhi hemodinamik pasien (Tarwoto dkk, 2007).
  • Faktor Risiko Cedera Kepala
  1. Usia
Usia muda atau remaja dan dewasa lebih berisiko terkena cedera kepala karena aktivitas yang dilakukannya.
  1. Gaya hidup
Gaya hidup seperti kebiasaan mengonsumsi alkohol berisiko terhadap terjadinya cedera kepala berhubungan dengan risiko terjatuh atau terbentur.
  1. Aktivitas yang tidak baik
Aktivitas yang tidak baik misalnya kebut-kebutan di jalanan dan tidak menggunakan alat proteksi diri seperti helm meningkatkan risiko keparahan cedera kepala.
  1. Penggunaan senjata yang tidak semestinya
  2. Mengantuk dan kelelahan
  3. Jenis kelamin
Risiko laki-laki terkena cedera kepala lebih besar karena aktivitas laki-laki lebih berisiko terhadap cedera kepala, seperti kecelakaan di jalanan, kebut-kebutan, dan lain-lain.
  1. Cara berjalan yang tidak stabil (Tarwoto dkk, 2007)
  1. KLASIFIKASI
Menurut GCS ( Glasgow Coma Scale)
  1. Cedera Kepala Ringan (CKR)
  • GCS > 13
  • Tidak terdapat kelainan pada CT Scan Otak
  • Tidak memerlukan tindakan operasi
  • Lama dirawat di RS< 48 jam
  • Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang 30 menit
  • Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma
  • Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
  • Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit
  1. Cedera Kepala Sedang (CKS)
  • GCS 9-13 (konfusi, letargi atau stupor)
  • Ditemukan kelainan pada CT scan
  • Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
  • Dirawat di RS setidaknya 48 jam
  • Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam
  • Dapat mengalami fraktur tengkorak (tanda Battle,hemotimpanum, otorea ( keluar cairan dari telinga ) atau rinorea ( keluar cairan dari hidung ).
  1. Cedera Kepala Berat (CKB)
  • Terjadi 48 jam setelah trauma
  • GCS < 9 (koma)
  • Kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
  • Juga meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intrakranial (George dkk, 2009)
Berdasarkan Kerusakan Jaringan Otak
    1. Komosio Serebri (geger otak)
Geger otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran keras atau menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak , termasuk kemungkinan kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan cedera pada kepala. Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu : hilang kesadaran, sakit kepala berat, hilang ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening, lemah, pandangan ganda.
    1. Kontusio serebri (memar otak)
Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan oleh pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar dan pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah dalam otak pecah dan perdarahan pasien pingsan, pada keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu. Terdapat amnesia retrograde, amnesia pascatraumatik, dan terdapat kelainan neurologis, tergantung pada daerah yang luka dan luasnya lesi:
  • Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan tekanan intracranial yang dapat menyebabkan kematian.
  • Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat Cheyne-Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas dekortikal (kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi)
  • Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga koma, pernafasan hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat (tidak teratur), regiditasdesebrasi (tungkai dan lengan kaku dalam sikap ekstensi).

    1. Konfusio Serebri
Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur tengkorak, massa otak terkelupas keluar dari rongga intrakranial (Wahjoepramono, 2005).
    1. Laceratio Cerebri (trauma kapitis berat)
Sobekan pada jaringan otak karena tekanan atau fraktur dan luka tusukan. Dapat terjadi perdarahan, hematoma dan edema cerebral. Akibat perdarahan dapat terjadi ketidaksadaran, hemiplegi dan dilatasi pupil, cerebral laceratio diklasifikasikan berdasarkan lokasi benturan yaitu : Coup, counter coup lesi tidak langsung terjadi pada tempat pukulan melainkan terlihat pada bagian belakangnya (George dkk, 2009)
Berdasarkan Tipe Trauma
  1. Cidera Kepala Terbuka
Trauma ini menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak, laserasi durameter, dan kerusakan otak jika tulang tengkorak menusuk otak.
  1. Cidera kepala Tertutup
Trauma kepala tertutup terbagi menjadi 2 macam, yaitu komusio serebri/gegar otak dan kontusio serebri/memar otak (Wahjoepramono, 2005).
Berdasarkan Lokasi Hematoma
  1. Hematoma epidural
Perdarahan terjadi diantara durameter dan tulang tengkorak. Perdarahan ini terjadi karena terjadi akibat robeknya salah satu cabang arteria meningea media, robeknya sinus venosus durameter atau robeknya arteria diploica. Robekan ini sering terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala yang dapat dijumpai adalah adanya suatu lucid interval (masa sadar setelah pingsan sehingga kesadaran menurun lagi), tensi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah lambat, hemiparesis, dan terjadi anisokori pupil.
  1. Hematoma subdural
Perdarahan terjadi di antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau karena robeknya arakhnoid. Gejala yang dapat tampak adalah penderita mengeluh tentang sakit kepala yang semakin bertambah keras, ada gangguan psikis, kesadaran penderita semakin menurun, terdapat kelainan neurologis seperti hemiparesis, epilepsy, dan edema papil.
Klasifikasi hematoma subdural berdasarkan saat timbulnya gejala klinis :
  • Hematoma Subdural Akut
Gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat kurang dari 5mm tebalnya tetapi melebar luas.
  • Hematoma Subdural Sub-Akut
Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsul disekitarnya.
  • Hematoma Subdural Kronik
Gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma. Kapsula jaringan ikat mengelilingi hematoma. Kapsula mengandung pembuluh-pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama di sisi durameter. Pembuluh darah ini dapat pecah dan membentuk perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan terurai membentuk cairan kental yang dapat mengisap cairan dari ruangan subarakhnoid. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti tumor serebri..


  1. Hematoma Sub Araknoid
Hematoma subaraknoid terjadi akibat rupturnya bridging vein pada ruang subaraknoid, atau pembuluh darah yang ada pada permukaan jaringan otak (Wahjoepramono, 2005).
  1. Hematoma intraserebral
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat. Gejala-gejala yang ditemukan adalah :
  • Hemiplegi
  • Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang meningkat.
  • Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri media yang tidak normal.
  1. Fraktura basis kranii
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrigad dan amnesia pascatraumatik. Gejala tergantung letak frakturnya:
  • Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematoma atau Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.
  • Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).
  • Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas oramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati seketika (George dkk, 2009).
  1. MANIFESTASI KLINIK
  1. GCS 9-13 (konfusi, letargi atau stupor)
  2. Ditemukan kelainan pada CT scan
  3. Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam
  4. Dapat mengalami fraktur tengkorak (tanda Battle,hemotimpanum, otorea ( keluar cairan dari telinga ) atau rinorea ( keluar cairan dari hidung ) (George dkk, 2009).
Menurut Ginsberg (2005), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
  • Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah :
  • Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga diatas os mastoid)
  • Hemotipanum (perdarahan di daerah membrane timpani telinga)
  • Periorbital eccymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
  • Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
  • Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
  • Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan
  • Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh
  • Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan
  • Mual atau muntah
  • Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun
  • Perubahan kepribadian diri
  • Letargi
  • Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat
  • Symptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun atau meningkat
  • Perubahan ukuran pupil (anisokoria)
  • Triad Chusing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan)
  • Apabila meningkatnya tekanan intracranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal ekstrimita.

Tanda dan gejala cidera kepala menurut letak yang ditemukan antara lain (Muttaqin, 2009) :
  • Epidural Hematoma
Terdapatnya pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan durameter akibat pecahnya pembuluh darah / cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat durameter, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Gejala-gejala yang terjadi :
  • Penurunan tingkat kesadaran
  • Nyeri kepala
  • Muntah
  • Hemiparesis
  • Dilatasi pupil ipsilateral
  • Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal irregular
  • Penurunan nadi
  • Peningkatan suhu

  • Subdural Hematoma
Terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara durameter, perdarahan lambat dan sedikit. Tanda-tanda dan gejalanya adalah :
  • Nyeri kepala
  • Bingung
  • Mengantuk
  • Menarik diri
  • Berfikir lambat
  • Kejang
  • Oedem pupil
Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena. Tanda dan gejalanya :
  • Nyeri kepala
  • Penurunan kesadaran
  • Komplikasi pernapasan
  • Hemiplegia kontra lateral
  • Dilatasi pupil
  • Perubahan tanda-tanda vital


  • Perdarahan Subarachnoid
Perubahan di dalam rongga subarchnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hamper selalu ada pada cedera kepala yang hebat. Tanda dan gejala :
  • Nyeri kepala
  • Penurunan kesadaran
  • Hemiparese
  • Dilatasi pupil ipsilateral
  • Kaku kuduk


Tanda-tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)
Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan atau hubungan volume di antara kranium dan isi kubah kranium. Volume kranium terdiri atas darah, jaringan otak, dan cairan serebrospinal (CSS). Peningkatan tekanan intrakranial merupakan peningkatan CSS lebih dari 15 mmHg. Fakor yang mempengaruhi kemampuan tubuh untuk dapat menstabilkan tekanan intrakranial adalah tekanan darah sistemik, ventilasi dan oksigen, jumlah metabolik dan kebutuhan oksigen (demam, aktifitas, perubahan), vasopasme area serebral, dan saturasi oksigen serta hematokrit.


Gejala klinis terjadinya peningkatan TIK :
  1. Perubahan tingkat kesadaran disebabkan oleh tekanan serebral.
  1. Tingkat kesadaran atau ada tidaknya respon.
  2. Amati letargi, respon verbal yang lambat, berbicara pelan.
  3. Adanya perubahan kondisi yang mendadak : sulit istirahat, gangguan orientasi, stupor, mengantuk.
  4. Keadaan memburuk.
  1. Perubahan tanda vital
  1. Peningkatan tekanan darah atau tekanan nadi membesar.
  2. Perubahan nadi : perubahan bradikardia ke takikardi sebagai peningkatan tekanan intrakranial.
  3. Pernapasan tidak teratur, takipnea ( gejala awal adanya peningkatan tekanan intrakranial), pernapasan lambat dengan periode apnea yang memanjang, pernapasan Cheyne-stokes atau Kussmaul.
  4. Peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi (sedang)
  1. Perubahan papiler disebabkan oleh tekanan pada optik dan saraf okulomotor
  2. Perubahan lain
  1. Sakit kepala : peningkatan intensitas, keadaan memburuk melalui gerakan atau tegang.
  2. Muntah : dengan sedikit mual, mungkin proyektil
  3. Perubahan : istirahat, sakit kepala, berusaha bernapas, pergerakan tidak terarah, ganggan mental.
  1. Trias Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan)


  1. PATOFISIOLOGI
Cedera kulit kepala
Karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah bila mengalami cedera dalam. Kulit kepala juga merupakan tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat menimbulkan abrasi, kontisio, laserasi atau avulsi.
Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka/tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup dura tidak rusak. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur dan karena alasan yang kurang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung.
Cidera otak
Kejadian cedera “ Minor “ dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang bermakna sel-sel cerebral membutuhkan supalai darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir tanpa henti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.
Komosio
Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah kehilangan fase neuologik sementara tanpa kerusakan struktur. Jika jaringan otak dan lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku yang aneh dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia disoreantasi.
Kontusio
Kontusio cerebral merupakan CKB, dimana otak mengalami memar dan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat.
Hemoragi cranial
Hematoma ( pengumpulan  darah ) yang terjadi dalam tubuh kranial adalah akibat paling serius dari cedera kepala. Ada 3 macam hematoma
  1. Hematoma Epidural (hematoma Ekstradural)
Setelah terjadi cedera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak di dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningkat tengah putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara dura dan tengkorak daerah frontal inferior menuju bagian tipis tulang temporal, hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak.
  1. hematoma subdural
hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak, yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hemoragi sub dural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut atau kronik tergantung pada ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma subdural akut: dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kkontusio atau laserasi. Hematoma subdural subakut: sekrela kontusio sedikit berat dan dicurigai pada bagian yang gagal untuk menaikkan kesadaran setelah trauma kepala. Hematoma subdural kronik: dapat terjadi karena cedera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera tipe ini karena atrofi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan.
  1. Hemoragi Intra cerebral dan hematoma
hematoma intracerebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil. Hemoragi in didalam menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantong aneorima vasculer, tumor infracamal, penyebab sistemik gangguan perdarahan.

F.PATHWAYS


  1. PENATALAKSANAAN
  • Pedoman Resusitasi Dan Penilaian Awal
  1. Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir, jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas, bila pasien harus diintubasi.
  2. Menilai penafasan: tentukan apakah pasien bernafas sepontan atau tidak. Jika tidak beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernafas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks, pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi,jika tersedia, dengan tujuan menjaga satutasi oksigen minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindungi bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat ( PaO2 > 95 mmHg dan PaCO2 < 40 mmHg serta saturasi O2 > 95 % ) atau muntah maka pasien harus diintubasi oleh ahli anestesi.
  3. Menilai sirkulasi: Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intraabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang alur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan kristaloid ( dekstrosa atau dekstrosa dalam salin) menimbulkan eksaserbasi edema otak pascacedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia, dan hiperkapnia memperburuk cedera kepala.
  4. Obati kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberika intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.

  1. Menilai tingkat keparahan dengan menggunakan GCS
Skala Koma Glasgow ( Glasgow Coma Scale, GCS )
  • Pedoman Penatalaksanaan
    1. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal ( proyeksi antero-posterior, lateral, dan odontoid ), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal.
    2. Pada semua pasien dengan cedera kepalasedang dan berat, lakukan prosedur berikut :
  • Pasang jalur interavena dengan larutan salin normal ( NaCl 0,9% ) atau larutan Ringer laktat: cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan larutan lain tidak menambah edema serebri.
  • Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah: glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu.
    1. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto rontgen kepada tidak diperlukan jika CT Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera kepala ringan, sedang, berat, harus dievaluasi adanya :
  • Hematoma epidural
  • Darah dalam subaranoid dan intraventrikel
  • Kontusio dan perdarahan jaringan otak
  • Edema serebri
  • Obliterasi sisterna perimesensefalik
  • Pergeseran garis tengah
  • Fraktur cranium, cairan dalam sinus, dan pneumosefalus
    1. Pada pasien yang koma ( skor GCS < 8 ) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan sebagai berikut:
  • Elevasi kepala 30 derajat
  • Hiperventilasi: intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermiten dengan kecepatan 16-20 kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg. Atur tekanan CO2 sampai 28-32 mmHg.Hipokapnia berat ( pCO2 < 25 mmHg ) harus dihindari sebab dapat menyebabkan vasokontriksi dan iskemia serebri.
  • Berikan manitol 20 % 1 g/kg interavena dalam 20-30 menit. Dosis ulang dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama
  • Pasang kateter Foley
  • Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar, hematoma, cedera kepala terbuka, dan faktur impresi > 1 diploe).
  • Penatalaksanaan Khusus
    1. Cedera kepala ringan : pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan kerumah tanpa perlu dilakukan pemerikasaan CT Scan bila memenuhi kreteria berikut:
  • Hasil pemeriksaan neurologis ( terutama status mini mental dan gaya berjalan ) dalam batas normal.
  • Foto servikal jelas normal.
  • Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan intruksi untuk segera kembali kebagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan.
Kriteria perawatan di rumah sakit :
  • Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
  • Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
  • Adanya tanda atau dan gejala neurologis fokal
  • Intoksikasi obat atau alcohol
  • Adanya penyakti medis komorbid yang nyata
  • Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien dirumah.
    1. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio), dengan skala koma Glasgow 15 ( sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah ) dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi dirumah. meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intracranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
  • Cedera kepala berat: setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera ( hematoma intracranial yang berat ). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan diunit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau tekanan intracranial yang meningkat.
  • Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi: umumnya, pasien dengan stupor atau koma ( tidak dapat mengikuti perintah karena derajat kesadaran menurun ) harus diintubasi untuk proteksi jalan nafas. Jika tidak ada bukti tekanan intrakranial meninggi, parameter ventilasi harus diatur sampai pCO2 40 mmHg dan pO2 90-100 mmHg.
  • Monitor tekanan darah: jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan hemodinamik ( hipotensi atau hipertensi ), pemantauan paling baik dilakukan dengan keteter arteri. Karena autoregulasi sering terganggu pada cedera kepal akut, maka tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan untuk menghindarkan hipotensi ( < 70 mmHg ) hipertensi ( > 130 mmHg ). Hipotensi dapat menyebabkan iskemia otak sedangkan hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.
  • Pemasangan alat monitor tekanan intracranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila memungkinkan.
  • Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis ( salin normal atau Ringer laktat ) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salain 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dalam menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
  • Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus
diberikan sesegera mungkin ( biasanya hari ke 2 perawatan ).
Temperatur badan: demam ( temperature > 101 derajat F) mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebab (antibiotik) diberikan bila perlu.
  • Anti kejang: fenitoin 15-20 mgkg BB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini ( minggu pertama ) dari 14 % menjadi 4 % pada pasien dengan perdarahan intracranial traumatik. Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma dikemudian hari. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karean kadar subtrapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
  • Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terahir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg interavena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam ).
  • Profilaksis thrombosis vena dalam: sepatu bot komprensif pneumatic dipakai pada pasien yang tidak bergerak untuk mencegah terjadinya thrombosis vena dalam pada ekstremitas bawah dan resiko yang berkaitan dengan tromboemboli paru. Heparin 5.000 unit subkutan setiap 12 jam dapat deberikan setelah cedera kepala pasien dengan imobilisasi lama, bahkan dengan adanya perdarahan intracranial (Arif Mansjoer, 2000 ).
  1. PEMERIKSAAN PENUNJANG
  • CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
  • MRI (magnetic resonance imaging) : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
  • Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
  • Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
  • X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
  • BAER (Brain Auditori Evoked Respons ): Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
  • PET (POSITRON EMISSION TOMOGRAPHY): Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
  • Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
  • ABGs (Artery Blood Gases Analysis ): Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer, 2000)

  1. KOMPLIKASI
  • Hemorrhagie.(Pecahnya / keluarnya darah dari pembuluhnya)
  • Infeksi. (invasi dan pembiakan mikroorganisme pada jaringan tubuh, terutama yang menyebabkan cedera seluler lokal )
  • Edema.( pengumpulan cairan secara abnormal dalam ruang jaringan intraseluler tubuh)
  • Herniasi (penonjolan abnormal organ / struktur tubuh lainya melalui cacat / lubang alamiah dalam selaput pembungkus , membran otot , atau tulang) (Arif Mansjoer, 2000).

  1. PENGKAJIAN
  • Pengkajian primer
a. Airway
Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis
b. Breathing
Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus  dada, fail chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing.
c. Sirkulasi
Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea, hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi urin.
d. Disability
Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.
e. Eksposure
Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.
  • Pengkajian sekunder
  1. Aktivitas/Istirahat
    Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
    Tanda : Perubahan kesalahan, letargi, hemisparase, quadriplegia, ataksia cara berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastik.
  2. Sirkulasi
    Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (Hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia, distritmia).
  3. IntegritasEgo
    Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
    Tanda : Cemas, mudah tersinggung, Delirium, Agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
  4. Eliminasi
    Gejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.
  5. Makanan/Cairan
    Gejala : Mual/muntah dan mengalami perubahan selera.
    Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, dispagia), berkeringat, penurunan berat badan, penurunan massa otot/lemak subkutan.
  6. Neurosensori
    Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, Amnesia seputar kejadian, Vertigo, Sinkope, tinnitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstrimitas, perubahan pola dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia, gangguan pengecapan dan penciuman
    Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental, perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris/deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti).
    Kehilangan pengindraan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, reflex tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia, quadriplegia, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh
  7. Nyeri/kenyamanan
    Gejala : Sakit kepala intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
    Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak dapat beristirahat, merintih.
  8. Pernafasan
    Tanda : Perubahan pola nafas (apnoe yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi stridor, tersedak, ronkhi, mengi positif. (kemungkinan adanya aspirasi).
  9. Keamanan
    Gejala :Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
    Tanda :Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan.
    Kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye” tanda battle disekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma), adanya aliran (drainage) dari telinga/hudung (CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami pralisis, demam dan gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
  10. InteraksiSosial
    Tanda : Afasia motorik atau sensorik, berbicara tanpa arti, bicara berulang-ulang,disartria.
  11. Penyuluhan/pembelajaran
    Gejala : Penggunaan alkohol atau obat lain.
    Rencana pemulangan : membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan makan, belanja, perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang, dan pemanfaatan fasilitas lainnya di rumah sakit.

  1. DIAGNOSA KEPERAWATAN
  1. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral
  2. Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)
  3. Kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot pernafasan
  4. Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekresi, obstruksi jalan nafas
  5. Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan kesadaran
  6. Resiko cedera b.d kejang, penurunan kesadaran
  7. Gangguan eliminasi urin b.d kehilangan control volunteer pada kandung kemih

  1. RENCANA TINDAKAN
  1. Diagnosa : gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral
Tujuan : mempertahankan tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi motorik dan sensorik
Intervensi :
  • Kaji faktor penyebab penurunan kesadaran dan peningkatan TIK
  • Monitor status neurologis
  • Pantau tanda-tanda vital dan peningkatan TIK
  • Evaluasi pupil, batasan dan proporsinya terhadap cahaya
  • Kolaburas pemberian oksigen sesuai dengan indikasi, pemasangan cairan IV, persiapan operasi sesuai dengan indikasi
  1.  Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif
Tujuan : pola nafas pasien efektif
Intervensi :
  • Kaji pernafasan (irama, frekuensi, kedalaman) catat adanya otot bantu nafas
  • Kaji reflek menelan dan kemampuan mempertahankan jalan nafas
  • Tinggikan bagian kepala tempat tidur dan bantu perubahan posisi secara berkala
  • Lakukan pengisapan lendir, lama pengisapan tidak lebih dari 10-15 detik
  • Auskultasi bunyi paru, catat adanya bagian yang hipoventilasi dan bunyi tambahan(ronchi, wheezing)
  • Catat pengembangan dada
  • Kolaburasi : awasi seri GDA, berikan oksigen tambahan melalui kanula/ masker sesuai dengan indikasi
  • Monitor pemakaian obat depresi pernafasan seperti sedative
  • Lakukan program medic
  1. Diagnosa : kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot pernafasan
tujuan : pasien mempertahankan oksigenasi adekuat
intervensi :
  • Kaji irama atau pola nafas
  • Kaji bunyi nafas
  • Evaluasi nilai AGD
  • Pantau saturasi oksigen
  1. Diagnosa : Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekret, obstruksi jalan nafas
Tujuan : mempertahankan potensi jalan nafas
intervensi :
  • Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misal krekels, mengi, ronchi
  • Kaji frekuensi pernafasan
  • Tinggikan posisi kepala tempat tidur sesuai dengan indikasi
  • Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat warna lendir yang keluar
  • Kolaburasi : monitor AGD
  1. Diagnosa : resiko cedera b.d penurunan kesadaran
tujuan : tidak terjadi cedera pada pasien selama kejang, agitasi atu postur refleksif
intervensi :
  • Pantau adanya kejang pada tangan, kaki, mulut atau wajah
  • Berikan keamanan pada pasien dengan memberikan penghalang tempat tidur
  • Berikan restrain halus pada ekstremitas bila perlu
  • Pasang pagar tempat tidur
  • Jika terjadi kejang, jangan mengikat kaki dan tangan tetapi berilah bantalan pada area sekitarnya. Pertahankan jalan nafas paten tapi jangan memaksa membuka rahang
  • Pertahankan tirah baring
  1. Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan kesadaran
Tujuan : tidak terjadi kekurangan kebutuhan nutrisi tepenuhi
Intervensi :
  • Pasang pipa lambung sesuai indikasi, periksa posisi pipa lambung setiap akan memberikan makanan
  • Tinggikan bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan aspirasi
  • Catat makanan yang masuk
  • Kaji cairan gaster, muntahan
  • Kolaburasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet yang sesuai dengan kondisi pasien
  • Laksanakan program medic
  1. Diagnosa : Gangguan eliminasi urin b.d hilangnya control volunter pada kandung kemih
tujuan : mempertahankan urin yang adekuat, tanpa retensi urin
intervensi :
  • Kaji pengeluaran urin terhadap jumlah, kualitas dan berat jenis
  • Periksa residu kandung kemih setelah berkemih
  • Pasang kateter jika diperlukan, pertahankan teknik steril selama pemasangan untuk mencegah infeksi


DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer dkk. (2000). Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi Ketiga jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
Fearnside, 1997 dalam Smeltzer and Brenda. (2000). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
George Dkk. (2009). Panduan Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Syaraf. EGC : Jakarta
Ginsberg, Lionel. (2005). Lecture Notes: Neurology Edisi Kedelapan. Jakarta : Erlangga.
Muttaqin, Arif. (2009). Asuhan Keperwatan Klien Dengan Gangguan Sistem Saraf Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Satyanegara. (2010). Ilmu Bedah Saraf. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Smeltzer and Brenda. (2000). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Tarwoto, et all. (2007). Keperawatan Medikal Bedah, Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Sagung Seto.
Wahjoepramono, Eka. (2005). Cedera Kepala. Lippokarawaci : Universitas Pelita Harapan.

No comments:

Post a Comment