*-* PROFESIONAL NURSE *-* ENDOSKOPI SALURAN CERNA DAN PERNAFASAN *-* *-* INSTAGRAM *-* @bayuajisismanto *-* *-* ENDOSCOPY UNIT *-* GASTROSCOPY, KOLONOSCOPY, BRONCOSCOPY, DUODENOSKOPI *-*

CARI INFORMASI DISINI

POSTINGAN TERPOPULER

Wednesday 25 September 2019

APA ITU KOLONOSKOPI ? APA YANG HARUS DISIAPKAN SEBELUM TINDAKAN KOLONOSKOPI ?

Kolonoskopi adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui terjadinya gangguan atau kelainan pada usus besar (kolon) dan rektum yang sering menimbulkan gejala berupa sakit perut, darah pada tinja, diare kronis, gangguan buang air besar atau gambaran abnormal di usus pada pemeriksaan foto Rontgen dan CT scan.

Kolonoskopi atau juga dikenal sebagai tindakan teropong usus, kerap dilakukan untuk melihat adanya indikasi dari penyebab kanker usus besar. Orang yang berusia 50 tahun ke atas memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker usus besar. Oleh karena itu, disarankan untuk melakukan kolonoskopi setiap 10 tahun setelah memasuki usia tersebut guna mendeteksi kemungkinan kanker usus besar.

 

Persiapan Kolonoskopi dan Prosedur Pemeriksaan yang Dilakukan - Alodokter

Persiapan Sebelum Kolonoskopi

Sebelum memulai kolonoskopi, Anda harus menceritakan kepada dokter terlebih dahulu jika memiliki kondisi medis tertentu, seperti kehamilan, gangguan paru-paru atau jantung, riwayat alergi obat, serta riwayat penyakit diabetes. Hal ini bertujuan agar dokter dapat memberikan obat tertentu sebagai penyesuaian yang diperlukan sebelum kolonoskopi.
Setelah melakukan konsultasi dengan dokter, maka terdapat beberapa langkah selanjutnya sebagai persiapan sebelum kolonoskopi, di antaranya:
  • Membersihkan usus
    Dokter akan meminta Anda untuk mengosongkan usus besar Anda. Membersihkan usus besar bertujuan untuk memperjelas lapangan pandang pemeriksaan sehingga mempermudah proses kolonoskopi.
  • Membatasi atau menghindari makanan tertentu
    Untuk membantu membersihkan usus, beberapa jenis makanan padat kemungkinan akan diminta untuk dibatasi atau bahkan tidak dikonsumsi sebelum kolonoskopi. Demikian pula, minuman jenis tertentu.
  • Minum obat pencahar
    Dokter mungkin juga menyarankan minum obat pencahar, baik dalam bentuk pil atau bentuk cair. Agar usus besar benar-benar bersih dari kotoran sebelum dilakukan kolonoskopi.
  • Menggunakan enema
    Pada sebagian, persiapan konoloskopi dilakukan dengan pembilasan untuk membersihkan usus besar menggunakan alat enema. Hal ini dapat dilakukan pada malam hari sebelum kolonoskopi atau atau beberapa jam sebelumnya. Tindakan ini sebaiknya dilakukan di bawah pengawasan medis.

Prosedur saat Memulai Kolonoskopi

Kolonoskopi harus dilakukan oleh dokter terlatih. Pemeriksaan ini umumnya berlangsung sekitar 30 menit hingga 1 jam. Adapun langkah awalnya, dokter akan memberi obat penenang yang membuat Anda merasa rileks, bahkan mengantuk. Umumnya posisi yang disarankan yaitu berbaring miring, meski ada kemungkinan dokter akan meminta Anda berubah posisi selama pemeriksaan.
Setelah sudah siap, dokter akan mulai memasukkan kolonoskop melalui anus hingga mencapai pangkal usus besar. Kolonoskop merupakan sebuah alat menyerupai tabung selang kecil yang panjang. Kolonoskop juga fleksibel, yang memudahkan pergerakan sehingga memungkinan untuk memeriksa seluruh bagian organ usus besar.
Kemudian, alat ini dapat mengambil gambar lapisan usus besar, agar dokter dapat melihat layar untuk memeriksa dan menilai kelainan yang terjadi pada usus besar.
Selama prosedur kolonoskopi berlangsung, Anda mungkin merasa kram ringan. Namun, Anda bisa mengurangi kram dengan mengambil beberapa tarikan napas yang dalam. Saat dokter selesai, kolonoskop perlahan ditarik sambil mencermati lapisan usus Anda dengan seksama.
Jika dokter melihat sesuatu yang abnormal atau mencurigakan pada usus besar, maka dokter dapat mengambil contoh jaringan untuk diidentifikasi (biopsi jaringan). Bahkan pada sebagian kasus, seperti polip usus, kolonoskop dapat berfungsi sebagai alat diagnosis sekaligus mampu mengangkat jaringan tersebut tanpa memerlukan operasi besar. Merupakan hal yang wajar, jika terjadi sedikit pendarahan dari anus setelah dilakukan biopsi atau pengangkatan jaringan. Kondisi ini umumnya akan membaik dalam beberapa hari.
Komplikasi kolonoskopi sangat jarang terjadi, namun jika mengalami nyeri perut atau pendarahan secara berlebihan, maka segera konsultasikan ke dokter untuk pengobatan lebih lanjut.

Analisa Aplikasi ESI Triage dan METTS Triage

  ESI Triage dan METTS Triage 
Gambar terkait
Tujuan triage pada emergency department (ED) adalah memprioritaskan pasien yang datang dengan mengidentifikasi dan menilai kondisi pasien yang membutuhkan penanganan segera dan tidak memiliki waktu lama untuk menunggu. Perawat harus bertindak secara cepat dalam melakukan pengkajian dan membuat laporan secara singkat mengenai kebutuhan pasien akan penanganan dan berapa lama penanganan dapat ditunda pada pasien lainnya. Menjadi sangat urgent bagi perawat untuk benar-benar memiliki kompetensi dalam melakukan triage terutama perawat yang berdinas di emergency department (Bolk, Mencl, Rijswijck, Simons, Vught, 2007).
Saat melakukan triage dibutuhkan pengkajian secara fokus dan komprehensif mengenai kondisi pasien. Pengkajian atau triage fokus adalah pengkajian yang menjurus langsung kepada konsep penyakit dan injury yang dialami oleh pasien. Pengkajian fokus dapat digunakan untuk menskrining kondisi pasien dan kebutuhan akan penanganan berdasar konsep ABC management. Sedangakan triage komprehensif adalah pengkajian pasien secara lengkap terkait history, pengukuran tanda-tanda vital, riwayat alergi, dan penampilan fisik pasien (Bolk, Mencl, Rijswijck, Simons, Vught, 2007).
Melihat tujuan dan fokus dalam pemberian penanganan, di dunia banyak sekali berkembang penerapan berbagai model triage seperti Australian Triage Scale (ATS), National Triage Scale, Menchester Triage Scale, Emergency Severity Index (ESI) (Farokhnia and Gorransson, 2011). Sehingga, dalam analisa jurnal ini penulis akan membahas mengenai triage yang selama ini diterapkan di luar negeri dan akan mencoba melihat kemungkinan aplikasinya di Indonesia .
Di negara Swedan, mulai menerapkan penggunaan triage dengan 2 model triage baru yang ditawarkan yaitu METTS (Medical and Emergency Triage and Treatment System) dan ADPT (Adaptive Process Triage). Kedua model tersebut memiliki komponen logistic dan tujuan untuk memperbaiki alur keluar masuk pasien dalam ED (Farokhnia and Gorransson, 2011).
METTS secara umum memberikan skala dalam memprioritaskan pasien yang masuk ke ED dan planning dalam perawatan kepada pasien. METTS dan ADPT dikembangkan dari pemikiran beberapa studi menunjukkan bahwa kegiatan triage berfokus pada tiga hal yaitu skala triage, pengambilan keputusan triage dan triage keperawatan dan perpective pasien terhadap triage (Farokhnia and Gorransson, 2011).
Jurnal penelitian yang disampaikan oleh Farokhnia dan Gorransson pada tahun 2011 mengenai “Swedish emergency department triage and interventions for improved patient flows: a national update” melaporkan mengenai peningkatan penerapan kualitas triage pada emergency department di Sweden dari tahun 2009 (73%) ke tahun 2010 (97%). Swedish Council on Health Technology Assesment mencoba mengirimkan kuesioner kepada manajer emergency department di seluruh rumah sakit di Swedan (74 rumah sakit). Kuesioner berisi pertanyaan mencakup mengenai aspek dalam penerapan intervensi triage yang digunakan selama ini dan perencanaan untuk tindakan kepada pasien yang akan diterapkan oleh perawat (Farokhnia and Gorransson, 2011).
Emergency department di Swedan sebagian besar telah menggunakan sakala triage dalam penerapan sehari-harinya. Terutama pada tahun 2009 dan baru 18 emergency department yang mulai menerapkan METTS dan terdapat peningkatan menjadi 48 emergency department yang mulai menerapkan METTS  di negara Swedan. Terdapat beberapa planning yang dapat diberikan perawat kepada pasien sebagai treatment yang menjadi kunci dalam triage METTS seperti pemeriksaan lab, x-ray, CT-scan dan konsultasi yang dapat dirujuk terkait kondisi pasien (Farokhnia and Gorransson, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian ini, METTS sangat umum untuk dapat diaplikasikan dengan kondisi geograpik yang berbeda. Perkembangan ini sangat mendukung pemberian pelayanan kepada pasien karena parktisi klinik di Swedan pada akhirnya memiliki persamaan persepsi dalam penanganan pasien. Bagaimanapun dalam METTS patient safety merupakan kunci utama dalam penanganannya. Penerapan METTS yang memfokuskan pada skala triage dan penerapan evidence based dalam pemberian intervensi kepada pasien diharapkan dalam prosesnya dapat menurunkan waktu tunggu pasien dan length of stay pasien di ruang emergency (Farokhnia and Gorransson, 2011).
METTS hampir memiliki kesamaan dengan ESI triage yang dilakukan di Eropa. Jurnal yang berjudul “ Validation of the Emergency Severity Index (ESI) in Self Referred patients in a European Emergency Department” ditulis oleh Jolande Francis, Bas, Maarten dan Arie  pada tahun 2007 memberikan gambaran mengenai uji kevalidan algoritma ESI pada pasien yang datang ke emergency department rumah sakit pendidikan dan non pendidikan di Eropa. Dalam pelaksanaan studi ini, peneliti melakukan penelitian kepada 42000 pasien dari beberapa rumah sakit.
Sebelum diterapkannya algoritma ESI triage, tidak ada triage secara formal yang digunakan dalam ED tersebut dan biasanya pasien akan mendapatkan waktu tinggal yang lama hingga dipindahkan. Sehingga pada penerapan pertama kali ESI triage ini, pada hari pertama perawat dan dokter diajarkan mengenai penerapan ESI triage di ED. Penerapan dilihat hingga hari ke 5 dan data kemudian diambil pertama kali dan dilanjutkan hingga hari ke 39 (Bolk, Mencl, Rijswijck, Simons, Vught, 2007).
Kesimpulan yang dapat dilihat dari penelitian ini, kategori triage ESI yang digunakan telah reliable untuk memprediksi keparahan kondisi pasien. Dimana data yang diperoleh  dapat digunakan sebagai sumber pengambilan keputusan apakah pasien dapat dipulangkan setelah kondisi stabil, diputuskan untuk masuk rumah sakit dan mendapatkan perawatan observasi di emergency department atau  untuk dipindahkan ke ruang perawatan. Penerapan ESI ini awalnya dikembangkan di US emergency department dimana angka hospitalisasi dapat diprediksi dengan jelas melalui ESI triage. Penerapan ESI triage juga dapat melihat pemeriksaan diagnostic yang kemungkinan dibutuhkan oleh pasien. (Bolk, Mencl, Rijswijck, Simons, Vught, 2007).
ESI merupakan konsep baru triage yang menggunakan lima skala dalam pengklasifikasian pasien di emergency department. ESI terus dikembangkan dalam beberapa versi dan penggunaan terakhir adalah ESI versi 4 yang telah disertai dengan algoritma. Dalam mengaplikasikannya, saat perawat bertemu dengan pasien pertama kali, harus dapat segera melakukan penilaian kondisi pasien dan memberikan keputusan akhir perawatan/observasi, pemulangan atau pemindahan ke ruang perawatan (Bolk, Mencl, Rijswijck, Simons, Vught, 2007).
ESI memiliki kesamaan dengan Australian Triage, Canadian Triage dan United Kingdom scale yang sama-sama menggunakan lima (5) skala dalam memprioritaskan pasien yang datang ke emeregency department. Namun, ESI berbeda dengan beberapa triage yang telah ada sebelumnya.   Dalam aplikasinya, Australian Triage, Canadian Triage dan United Kingdom scale memiliki tujuan dalam triagenya untuk membedakan seberapa lama pasien dapat menunggu untuk mendapatkan perawatan di emergency department sebagai evaluasi keberhasilan. Sedangkan ESI tidak menggunakan ekspektasi interval waktu untuk mengevaluasi perawatan (Gilboy, Tanabe, Travers, Rosenau,  2011).
Tabel 1: ESI Triage dan ATS Triage
ESI Triage
Level
Respon Time perawat
1 = Unstable
0 (Immediate)
2 = Threatned
Minutes
3 = Stable
≤ 60
4 = Stable
Could be delayd
5 = Stable
Could be delayd
Keuntungan penggunaan ESI adalah mengidentifikasi dengan cepat pasien yang membutuhkan perawatan segera dengan fokus memberikan respon cepat setelah penentuan level dari pengkajian. ESI triage merupakan pemilahan secara cepat dengan membagi ke dalam lima kelompok dengan karakteristik klinik yang berbeda pada sumber kebutuhan paien dan kebutuhan operasional atau penatalaksanaanya (Bolk, Mencl, Rijswijck, Simons, Vught, 2007). Dalam aplikasi algoritma, terdapat empat kunci utama pada ESI triage, yaitu:
  1. Apakah pasien memerlukan intervensi penyelamatan kehidupan dengan segera?
  2. Apakah pasien ini dapat menunggu?
  3. Berapa banyak sumber data yang akan pasien butuhkan?
  4. Bagaimana kondisi vital sign pasien?
Berdasar pada pertanyaan tersebut, kemudian pasien akan dirujuk berdasarkan level ESI triage yang telah ada dari level 1-5. Setelah tertuju pada masing-masing level, pasien akan segera dirujuk oleh perawat untuk mendapatkan intervensi sesuai dengan level yang telah ditentukan. Melihat hal ini, kompetensi perawat dalam menilai kondisi pasien saat pertama kali bertemu adalah hal yang sangat pokok untuk dapat dimilki. Dibawah ini terdapat algoritma penentuan level triage ESI.
Dalam algoritma tersebut, hanya digambarkan pemberian level pada kondisi pasien. Pada panduan ESI triage secara detail, dijabarkan mengenai rujukan yang digunakan untuk menentukan menentukan pelvelan seperti pada poin A dapat dijelaskan bahwa ketika pasien telah ditentukan masuk dalam level 1 dimana membutuhkan resusitasi atau penyelamatan nyawa segera, maka ada beberapa intervensi yang telah direkomendasikan untuk dapat dilakukan baik tindakan invasive maupun tindakan non invasive. Tindakan tersebut dimulai dari pengontrolan airway/breathing (intubasi, ventilasi, nasal kanul), electrical therapy (defibrillation, kardioversi, external pacing, monitor jantung), procedure (open thoracotomy, akses intraoseus), hemodinamik (kontrol perdarahan, IV akses), pengobatan ( Dopamine, Atropine, ASA IV nitrogliserin, heparin). Dalam kondisi level 1, perawat dapat melakukan pengkajian kepada pasien terkait kondisi selama diberikan perawatan dengan AVPU (alert, verbal, pain dan unresponsive) (Gilboy, Tanabe, Travers, Rosenau,  2011).
Contoh berikutnya pada poin B sebelum menentukan level pasien, perawat harus memahami kondisi atau situasi yang memungkinkan pada penyakit-penyakit tertentu memiliki risiko tinggi untuk mengalami lethargic/disorientasi, dll. Sehingga dapat ditentukan jika pasien memiliki faktor risiko tersebut, maka pasien dapat digolongkan dalam level 2. Jika tidak, masuk dalam level 3, 4, atau 5 (Gilboy, Tanabe, Travers, Rosenau,  2011). 
Langkah kerja aplikasi ESI selama di emergency department telah dipandu menggunakan algoritma yang kemudian dirujuk kepada intervensi yang harus dilakukan. Intervensi yang diberikan kepada pasien pada masing-masing level telah dirujuk oleh ESI triage. Sehingga dinilai cukup efektif untuk meningkatkan respon kepada pasien saat masuk ke UGD (Gilboy, Tanabe, Travers, Rosenau,  2011).
Melihat konsep triage ESI dan METTS yang telah dijabarkan, penerapan triage ESI dan METTS di Indonesia memungkinkan untuk dilakukan hanya jika kompetensi perawat, dokter, peralatan, obat-obatan yang tersedia di emergency department rumah sakit kita telah memenuhi standar. Namun, sebagi permulaan tidak menutup kemungkinan ESI triage untuk dapat diterapkan di rumah sakit pusat atau provinsi yang peralatannya untuk mendukung penanganan pasien segera telah cukup lengkap dibandingkan rumah sakit daerah.
Konsep triage ESI sesungguhnya sangat aplikatif untuk diterapkan karena penilaian yang dilakukan tidak terlalu memakan waktu lama. Selain itu, kemudahan rujukan intervensi sesuai dengan level klasifikasi ESI telah dipaparkan pada panduan penggunaan ESI triage.
Daftar Pustaka:
Bolk, J. E., Mencl, F., Rijswijck, B. T. F. V., Simons, M. P., Vught, A. B. V. (2007). Validation of the emergency severity index (ESI) in self referred patients in a European emergency department.  Emerg Med J. 24: 170-174
Farokhnia, N.n and Gorransson, K. E. (2011). Swedish emergency department triage and interventions for improved patient flows: a national update. Scandinavian Journal of Trauma, Resucitation and Emergency Medicine. 19: 72.
Gilboy, N., Tanabe, P., Travers, D., Rosenau, A. M. (2011). Emergency Severity Index (ESI); A Triage Tool for Emetgency Department Care Version 4. AHRQ Publication. www.ahrq.gov.

Memilih Triase Emergency Severity Index (ESI) di Indonesia

 Triase Emergency Severity Index (ESI)

art-20mei-3Sebagai bagian persiapan akreditasi versi baru, rumah sakit memperbaiki sistem triase di instalasi gawat darurat (IGD). Kondisi IGD yang padat dan tidak terprediksi kerap menjadikan sumber daya yang ada terbenam dalam kepadatan pasien yang masuk (1). Kepadatan ini menurut Institute of Medicine (IOM) di Amerika Serikat dianggap sebagai krisis nasional. Kepadatan pasien IGD selain mengu
payakan keselamatan pasien, juga mengancam privasi pasien, dan membuat frustasi staf IGD (2) sehingga proses triase dirasa sebagai kebutuhan dan bukan sekedar pemenuhan standar.
Triase adalah tingkatan klasifikasi pasien berdasarkan penyakit, keparahan, prognosis, dan ketersediaan sumber daya (3). Definisi ini lebih tepat diaplikasikan pada keadaan bencana atau korban masal. Dalam kegawatdaruratan sehari-hari, triase lebih tepat dikatakan sebagai metode untuk secara cepat menilai keparahan kondisi, menetapkan prioritas, dan memindahkan pasien ke tempat yang paling tepat untuk perawatan (1).
Sebagian besar rumah sakit di Indonesia masih menggunakan sistem triase "klasik". Sistem triase ini sebenarnya mengadaptasi sistem triase bencana, dengan membuat kategori cepat dengan warna hitam, merah, kuning, dan hijau. Hitam untuk pasien meninggal, merah untuk pasien gawat (ada gangguan jalan nafas, pernafasan, atau sirkulasi), kuning untuk pasien darurat, dan sisanya hijau. Sistem tiga level ini tidak cocok bagi IGD rumah sakit modern yang perlu mempertimbangkan evidence-based medicine atau kedokteran berbasis bukti.
Sejauh penelusuran yang bisa dilakukan penulis, ada beberapa sistem triase berbasis bukti yang bisa diacu. Sistem tersebut antara lain Canadian Triage and Acuity Scale (CTAS) dari Canada, Manchester Triage Scale (MTS) dari Inggris, Austraian Triage Scale (ATS) dari Australia, dan Emergency Severity Index (ESI) dari Amerika Serikat. Berbeda dengan sistem triase "klasik", sistem-sistem ini mengelompokkan pasien ke dalam lima level berjenjang. Sistem penjenjangan lima level ini lebih terpercaya dibanding dengan pengelompokan tiga level seperti pada sistem triase "klasik" (1,3).
Emergency Severity Index (ESI) dikembangkan sejak akhir tahun sembilan puluhan di Amerika Serikat. Sistem ESI bersandar pada perawat dengan pelatihan triase secara spesifik. Pasien yang masuk digolongkan dalam ESI 1 sampai ESI 5 sesuai pada kondisi pasien dan sumber daya rumah sakit yang diperlukan oleh pasien (1,3,4). ESI tidak secara spesifik mempertimbangkan diagnosis untuk penentuan level triase dan tidak memberikan batas waktu tegas kapan pasien harus ditemui dokter.
Menarik untuk membahas ESI dalam konteks IGD rumah sakit di Indonesia. Ada sedikitnya tiga alasan mengapa ESI lebih cocok diterapkan di sebagian besar IGD di Indonesia. Pertama, perawat triase dipandu untuk melihat kondisi dan keparahan tanpa harus menunggu intervensi dokter. Alasan kedua, pertimbangan pemakaian sumber daya memungkinkan IGD memperkirakan utilisasi tempat tidur. Ketiga, sistem triase ESI menggunakan skala nyeri 1-10 dan pengukuran tanda vital yang secara umum dipakai di Indonesia.
Triase ESI bersandar pada empat pertanyaan dasar (4) algoritme pada gambar 1. Kategorisasi ESI 1, ESI 2, dan ESI 5 telah jelas. Kategori ESI 2 dan ESI 3 mensyaratkan perawat triase mengetahui secara tepat sumber daya yang diperlukan. Contoh sumber daya adalah pemeriksaan laboratorium, pencitraan, pemberian cairan intravena, nebulisasi, pemasangan kateter urine, dan penjahitan luka laserasi. Pemeriksaan darah, urine, dan sputum yang dilakukan bersamaan dihitung satu sumber daya. Demikian pula CT Scan kepala, foto polos thorax, dan foto polos ekstremitas bersamaan dihitung sebagai satu sumber daya.
Anak-anak adalah populasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam triase. Bila pada sistem yang lain belum jelas mengenai kriteria triase pasien pediatri, ESI mempunyai satu bagian tersendiri mengenai triase pada anak-anak. Bagian ini memberikan petunjuk yang jelas mengenai apa saja yang harus diperiksa ketika melakukan triase pasien anak-anak. Inilah yang tidak dijumpai pada sistem triase yang lain.
Aslinya, ESI dibuat dalam konteks IGD sebagai antar muka EMS dan pelayanan rumah sakit. Sebuah penelitian di Eropa (5) juga menambahkan fakta menarik mengenai ESI pada pasien yang datang sendiri ke IGD, kondisi yang lebih mirip dengan Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa sistem triase ESI ini dapat dipercaya dan diandalkan pada pasien-pasien yang datang sendiri ke IGD. Tidak ada modifikasi yang perlu dilakukan pada algoritme sistem triase ESI untuk pasien-pasien yang datang sendiri ke IGD.
Berbagai fakta di atas meyakinkan kita bahwa sistem triase ESI berpotensi diaplikasi di IGD rumah sakit di Indonesia untuk meningkatkan keselamatan pasien dan efisiensi pelayanan. Kepala IGD perlu merencanakan waktu dan strategi untuk dapat berpindah dari sistem triase "klasik" menjadi sistem triase ESI ini. Namun, alasan efisiensi sumber daya dan keselamatan pasien sudah cukup bagi IGD rumah sakit untuk merencanakan sistem yang lebih baik. Salam!
Penyusun
Robertus Arian Datusananatyo (Kepala Instalasi Gawat Darurat RS Panti Rapih)
Tulisan ini adalah opini pribadi.
Daftar Pustaka
  1. Christ M, Grossmann F, Winter D, Bingisser R, Platz E. Modern triage in the emergency department. Dtsch Arztebl Int [Internet]. 2010 Dec [cited 2013 Aug 8];107(50):892–8. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3021905&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 
  2. Oredsson S, Jonsson H, Rognes J, Lind L, Göransson KE, Ehrenberg A, et al. A systematic review of triage-related interventions to improve patient flow in emergency departments. Scand J Trauma Resusc Emerg Med [Internet]. 2011 Jan [cited 2013 Aug 16];19:43. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3152510&tool=pmcentrez&rendertype=abstract 
  3. Mace SE, Mayer TA. Chapter 155 Triage. In: Jill M. Baren, Rothrock SG, Brennan JA, Brown L, editors. Pediatric Emergency Medicine. 1st ed. Philadephia: Elsevier Health Sciences; 2008. p. 1087–96.
  4. Gilboy N, Tanabe P, Debbie T, Rosenau AM. Emergency Severity Index (ESI): A Triage Tool for Emergency Department Care Version 4 Implementation Handbook 2012 Edition. AHRQ Publi. Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and Quality; 2011.
  5. Elshove-Bolk J, Mencl F, van Rijswijck BTF, Simons MP, van Vugt AB. Validation of the Emergency Severity Index (ESI) in self-referred patients in a European emergency department. Emerg Med J [Internet]. 2007 Mar [cited 2013 Sep 12];24(3):170–4. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2660021&tool=pmcentrez&rendertype=abstract

Monday 2 September 2019

Gastroskopi atau endoskopi saluran pencernaan bagian atas (upper gastrointestinal endoscopy).

Gastroskopi - Tindakan Endoskopi
Saluran Pencernaan bagian atas
post by 06051994


Gastroskopi, Ini yang Harus Anda Ketahui - AlodokterGastroskopi atau endoskopi saluran pencernaan bagian atas (upper gastrointestinal endoscopy). Prosedur pemeriksaan kondisi kerongkongan, perut, dan usus dua belas jari (duodenum) dengan menggunakan alat pemindai bernama endoskop, yaitu selang tipis dan fleksibel yang dilengkapi lampu dan kamera.

Secara spesifik, berikut adalah kondisi-kondisi yang dapat terlihat saat dilakukan gastroskopi:

Selain secara visual, kondisi tersebut dapat dipastikan dengan pengambilan sampel jaringan lambung (biopsi) menggunakan alat endoskop untuk diperiksa lebih lanjut di laboratorium.
Biasanya kondisi-kondisi di atas dapat akan menimbulkan gejala, seperti:
  • Nyeri ulu hati.
  • Rasa panas di dada.
  • Mual dan muntah secara berulang.
  • Sulit menelan (disfagia).
  • Muntah darah.
  • Buang air besar berwarna hitam.  
  • Anemia.
Selain untuk mendiagnosis, gastroskopi juga dapat digunakan untuk mengatasi kondisi tersebut, misalnya mengangkat tumor atau polip, menghentikan perdarahan, melebarkan saluran pencernaan yang menyempit akibat GERD, kanker lambung, atau karena radiasi.

Peringatan Gastroskopi

Prosedur gastroskopi sebaiknya tidak dilakukan pada pasien yang mengalami syok, serangan jantung, infeksi selaput perut (peritonitis), perobekan lambung dan usus 12 jari (perforasi), atau infeksi berat. Selain itu, prosedur gastroskopi pada pasien yang memiliki penyakit jantung koroner, diabetes, hipertensi, penurunan kesadaran, atau tidak kooperatif, juga perlu berhati-hati.
Jika pasien akan menjalani proses biopsi, sebaiknya berhati-hati apabila sedang mengonsumsi obat antikoagulan, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), metformin, atau sedang suntik insulin. Hal ini berisiko menimbulkan perdarahan saat biopsi.
Jika Anda alergi terhadap salah satu obat penenang, beritahu dokter agar obat dapat disesuaikan.

Sebelum Gastroskopi

Pasien akan diminta untuk berpuasa selama 4-8 jam sebelum gastroskopi untuk mengosongkan lambung dan usus. Pasien masih diperbolehkan untuk mengonsumsi air putih 2-3 jam sebelum prosedur. Ikuti saran dokter untuk menghentikan obat-obatan agar terhindar dari efek samping dan komplikasi.
Pasien akan diminta untuk melepaskan kacamata, lensa kontak, dan gigi palsu sebelum prosedur dilakukan. Pihak rumah sakit juga akan memberikan pakaian khusus dan penahan mulut untuk digunakan.

Prosedur Gastroskopi

Dokter penyakit dalam konsultan saluran pencernaan (KGEH) akan merebahkan pasien dan memberikan semprotan anestesi lokal ke dalam mulut pasien untuk membuat tenggorokan menjadi baal. Jika diperlukan, pasien akan diberikan suntikan obat penenang, terutama pada anak-anak.
Pasien dibaringkan di atas meja pemeriksaan dengan posisi tubuh miring ke arah kiri dan dokter akan memasukkan endoskop ke dalam tenggorokan. Pasien akan diminta untuk menelannya agar dapat terdorong ke dalam kerongkongan. Pasien mungkin akan merasa tidak nyaman pada tahap ini, namun rasa tersebut akan mereda saat alat mulai terdorong ke dalam.
Dokter kemudian akan memeriksa jika terdapat kelainan di sekitar kerongkongan, lambung, hingga usus dua belas jari melalui pemindaian kamera yang tersambung pada layar monitor. Apabila ditemukan kelainan tertentu, dokter akan merekamnya untuk menentukan diagnosis dan tindakan lebih lanjut. Saat ini dokter dapat memasukkan udara untuk mempermudah pemeriksaan. Pasien mungkin akan merasa kembung dalam proses ini, tetapi akan membaik sesaat setelah prosedur dilakukan. Jika diperlukan, akan diambil sampel jaringan esofagus, lambung atau usus 12 jari, untuk diperiksa di laboratorium.
Seperti telah dikatakan, gastroskopi juga dapat dilakukan untuk mengatasi penyakit tertentu. Misalnya untuk mengangkat polip, atau mengikat pembuluh darah dan menyuntikan zat kimia (sclerotherapy) untuk menghentikan perdarahan. Jika pasien mengalami penyempitan pada kerongkongan, dokter akan memasukkan balon atau stent melalui endoskop pada kerongkongan untuk melebarkannya.
Setelah prosedur selesai, dokter akan mengeluarkan endoskop secara perlahan melalui mulut pasien. Secara umum, prosedur gastroskopi memerlukan waktu 15-30 menit, tergantung dari jenis pemeriksaan dan tindakan lanjutan yang dilakukan.

Sesudah Gastroskopi

Umumnya pasien diperbolehkan untuk pulang dan beraktivitas seperti biasa setelah menjalani prosedur gastroskopi. Namun, akan dipertimbangkan juga kondisi kesehatan pasien sebelum melakukan gastroskopi. Misalnya pasien yang mengalami muntah darah akan disarankan menjalani rawat rawat inap untuk menstabilkan kondisi akibat kehilangan darah. Bagi pasien yang diberikan suntikan obat penenang, pasien tidak diperbolehkan untuk mengendarai kendaraan, mengoperasikan alat berat, atau mengonsumsi alkohol selama 24 jam setelah prosedur. Disarankan untuk menghubungi keluarga atau kerabat untuk menemani dan mengantarkan pulang.
Hasil pemindaian umumnya akan diberitahukan pada pasien dalam hitungan jam. Namun, jika diperlukan analisa mendalam, pasien akan diminta untuk menemui dokter yang merujuknya setelah beberapa hari untuk membicarakan hasil pemeriksaan dan diagnosis lebih lanjut.
Pasien mungkin akan merasakan kembung, kram perut, atau nyeri tenggorokan selama beberapa jam atau beberapa hari setelah prosedur gastroskopi. Ini merupakan kondisi normal dan akan mereda dengan sendirinya. Pola makan juga akan disesuaikan agar dapat mempercepat proses pemulihan. Jika efek samping memburuk atau Anda mengalami efek samping yang lain, segera konsultasikan dengan dokter.

Komplikasi Gastroskopi

Gastroskopi memiliki risiko komplikasi yang sangat jarang. Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain reaksi alergi terhadap obat penenang, pneumonia aspirasi, perdarahan, atau robeknya esofagus, lambung, serta usus 12 jari setelah prosedur dilakukan.
Segera temui dokter jika Anda mengalami gejala-gejala, seperti:
  • Mual dan muntah.
  • Demam.
  • Merasakan sensasi panas di sekitar area yang disuntik obat penenang.
  • Nyeri perut hebat.
  • Sesak napas.
  • Muntah darah.
  • Buang air besar berwarna hitam.