*-* PROFESIONAL NURSE *-* ENDOSKOPI SALURAN CERNA DAN PERNAFASAN *-* *-* INSTAGRAM *-* @bayuajisismanto *-* *-* ENDOSCOPY UNIT *-* GASTROSCOPY, KOLONOSCOPY, BRONCOSCOPY, DUODENOSKOPI *-*

CARI INFORMASI DISINI

POSTINGAN TERPOPULER

Sunday 22 January 2017

LP KEJANG DEMAM - LAPORAN PENDAHULUAN KEJANG DEMAM PADA ANAK

LAPORAN PENDAHULUAN
STASE KEPERAWATAN ANAK
KEJANG DEMAM DI RUANG BANGSAL ANAK

A. Pengertian
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu mencapai >380C). kejang demam dapat terjadi karena proses intracranial maupun ekstrakranial. Kejang demam terjadi pada 2-4% populasi anak berumur 6 bulan sampai dengan 5 tahun (Amid dan Hardhi, NANDA NIC-NOC, 2013).
Menurut Marvin A. Fishman (2007), kejang demam terjadi pada 2-4% anak usia di bawah 6 tahun. Kriteria diagnostik mencakup : kejang pertama yang dialami oleh anak berkaitan dengan suhu yang lebih tinggi dari pada 38°C, anak berusia kurang dari 6 tahun, tidak ada tanda infeksi atau peradangan susunan saraf pusat, anak tidak menderita gangguan metabolik sistemik akut. Kejang demam bersifat dependen-usia, biasanya terjadi pada anak berusia antara 9 dan 20 bulan, kejang jarang dimulai sebelum usia 6 bulan.
Kejang demam merupakan gangguan transien pada anak yang terjadi bersamaan dengan demam. Keadaan ini merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering dijumpai pada anak-anak dan menyerang sekitar 4% anak. Kebanyakan serangan kejang terjadi setelah usia 6 bulan dan biasanya sebelum usia 3 tahun dengan peningkatan frekuensi serangan pada anak-anak yang berusia kurang dari 18 bulan. Kejang demam jarang terjadi setelah usia 5 tahun. (Dona L.Wong, 2008)
Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh suhu rektal di atas 38°C. (Riyadi dan Sujono, 2009)
Kejang demam ditimbulkan oleh demam dan cenderung muncul pada saat awal-awal demam. Penyebab yang paling sering adalah ispa. Kejang ini akan kejang umum dengan pergerakkan klonik selama kurang dari 10 menit. Sistem syaraf pusat normal dan tidak ada tanda-tanda defisit neurologis pada saat serangan telah menghilang. Sekitar 1/3 anak akan mengalami kejang demam kembali jika terjadi demam, tetapi sangat jarang yang mengalami kejang demam setelah usia 6 tahun.
B. Etiologi
Menurut Randle John (1999) kejang demam dapat disebabkan oleh:
1. Demam tinggi. Demam dapat disebabkan oleh karena tonsilitis, faringitis, otitis media, gastroentritis, bronkitis, bronchopneumonia, morbili, varisela,demam berdarah, dan lain-lain.
2. Efek produk toksik dari mikroorganisme (kuman dan otak) terhadap otak.
3. Respon alergi atau keadaan imun yang abnormal.
4. Perubahan cairan dan elektrolit.


5. Faktor predispisisi kejang deman, antara lain:
a. Riwayat keluarga dengan kejang biasanya positif, mencapai 60% kasus. Diturunkan secara dominan, tapi gejala yang muncul tidak lengkap.
b. Angka kejadian adanya latar belakang kelainan masa pre-natal dan perinatal tinggi
c. Angka kejadian adanya kelainan neurologis minor sebelumnya juga tinggi, tapi kelainan neurologis berat biasanya jarang terjadi.
Penyebab kejang demam belum dapat dipastikan. Pada sebagian besar anak, tingginya suhu tubuh, bukan kecepatan kenaikan suhu tubuh, menjadi faktor pencetus serangan kejang demam. Biasanya suhu demam lebih dari 38°C dan terjadi saat suhu tubuh naik dan bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan suhu yang lama (Dona L.Wong, 2008).
Penyebab kejang mencakup faktor-faktor perinatal, malformasi otak kogenital, faktor genetik, penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis), penyakit demam, gangguan metabolisme, trauma, neuplasma toksin, sirkulasi, dan penyakit degeneratif sususnan syaraf. Kejang disebut ideopatik bila tidak dapat ditemukan penyebabnya (Cecily L. Betz dan A.sowden, 2002)
Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam antara lain : infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti tonsilitis, otitis, media akut, bronkitis (Riyadi dan sujono, 2009).
C. Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl–). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
2. Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat.
D. Pathways (Terlampir)

E. Klasifikasi Kejang Demam
Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian yaitu; kejang parsial sederhana dan kejang parsial kompleks.
1. Kejang parsial sederhana
Kesadaran tidak terganggu dapat mencakup satu atau dua hal sebagai berikut;
a. Tanda-tanda motoris; kedutan pada wajah, tangan atau salah satu sisi tubuh; umumnya gerakan setiap kejang sama
b. Tanda atau gejala otonomik; muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi pupil.
c. Gejala sematosensoris atau sensoris khusus; mendengar musik, merasa seakan jatuh dari udara, parestesia.
d. Gejala psikik; dejavu, rasa takut, visi panoramik.
2. Kejang parsial kompleks
Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial simpleks. Dapat mencangkup otomatisme atau gerakan otomatik; mengecap0ecapkan bibir, mengunyah, gerakan mencongkel yang berulang-ulang pada tangan, dan gerakan tangan lainnya. Dapat tanpa otomatisme tatapan terpaku (Cecily L.Betz dan Linda A.Sowden, 2002).
F. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan kejang demam adalah meliputi:
1. Elektro encephalograft (EEG)
Pemeriksaan ini dirasa kurang mempunyai nilai prognostik. EEG abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi atau kejang demam yang berulang dikemudian hari. Saat ini pemeriksaan EEG tidak lagi dianjurkan untuk pasien kejang demam yang sederhana. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi.
2. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi yang masih kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga harus dilakukan lumbal pungsi pada bayi yang berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan.
3. Darah
a. Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang  (N < 200 mq/dl)
b. BUN :  Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c. Elektrolit           :           K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
4. Cairan Cerebo Spinal   : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi, pendarahan penyebab kejang.
5. Skull Ray :Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
6. Tansiluminasi    : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala.
G. Penaktalaksanaan Medis
1. Pengobatan
a. Pengobatan fase akut
Obat yang paling cepat menghentikan kejang demam adalah diazepam yang diberikan melalui interavena atau indra vectal.
1) Dosis awal : 0,3 – 0,5 mg/kg/dosis IV (perlahan-lahan).
2) Bila kejang belum berhenti dapat diulang dengan dosis yang sama setelah 20 menit.
b. Turunkan panas
1) Anti piretika : parasetamol / salisilat 10 mg/kg/dosis.
2) Kompres air PAM / Os
c. Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan cairan serebro spiral dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama, walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila aga gejala meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama.
d. Pengobatan profilaksis
Pengobatan ini ada dalam cara : profilaksis intermitten / saat demam dan profilaksis terus menerus dengan antikanulsa setiap hari. Untuk profilaksis intermitten diberikan diazepim secara oral dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/hgBB/hari.
e. Penanganan sportif
1) Bebaskan jalan napas
2) Beri zat asam
3) Jaga keseimbangan cairan dan elektrolit
4) Pertahankan tekanan darah
2. Pencegahan
a. Pencegahan berkala (intermitten) untuk kejang demam sederhana. Beri diazepam dan antipiretika pada penyakit-penyakit yang disertai d emam.
b. Pencegahan kontinu untuk kejang demam komplikata
Dapat digunakan :
–  Fero barbital
–  Fenitorri
–  Klonazepam :
:
: 5-7 mg/kg/24 jam dibagi 3 dosis
2-8 mg/kg/24 jam dibagi 2-3 dosis
(indikasi khusus)


H. Fokus Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah pendekatan sistemik untuk mengumpulkan data dan menganalisa, sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien tersebut (Santosa. NI, 1989, 154)
Langkah-langkah dalam pengkajian meliputi pengumpulan data, analisa dan sintesa data serta perumusan diagnosa keperawatan. Pengumpulan data akan menentukan kebutuhan dan masalah kesehatan atau keperawatan yang meliputi kebutuhan fisik, psikososial dan lingkungan pasien. Sumber data didapatkan dari pasien, keluarga, teman, team kesehatan lain, catatan pasien dan hasil pemeriksaan laboratorium. Metode pengumpulan data melalui observasi (yaitu dengan cara inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi), wawancara (yaitu berupa percakapan untuk memperoleh data yang diperlukan), catatan (berupa catatan klinik, dokumen yang baru maupun yang lama), literatur (mencakup semua materi, buku-buku, masalah dan surat kabar).
Pengumpulan data pada kasus kejang demam ini meliputi :
1. Data Subjektif
a. Biodata/Identitas
Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin.Biodata orang tua perlu dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat.
b. Riwayat Penyakit (Darto Suharso, 2000)
Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan :
1) Apakah betul ada kejang ?
Diharapkan ibu atau keluarga yang mengantar dianjurkan menirukan gerakan kejang si anak
2) Apakah disertai demam ?
Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang, maka diketahui apakah infeksi infeksi memegang peranan dalam terjadinya bangkitan kejang. Jarak antara timbulnya kejang dengan demam.

3) Lama serangan
Seorang ibu yang anaknya mengalami kejang merasakan waktu berlangsung lama. Lama bangkitan kejang kita dapat mengetahui kemungkinan respon terhadap prognosa dan pengobatan.
4) Pola serangan
Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola serangan apakah bersifat umum, fokal, tonik, klonik ?
a) Apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang kesadaran seperti epilepsi mioklonik ?
b) Apakah serangan berupa tonus otot hilang sejenak disertai gangguan kesadaran seperti epilepsi akinetik ?
c) Apakah serangan dengan kepala dan tubuh mengadakan flexi sementara tangan naik sepanjang kepala, seperti pada spasme infantile?

5) Frekuensi serangan
a) Apakah penderita mengalami kejang sebelumnya, umur berapa kejang terjadi untuk pertama kali, dan berapa frekuensi kejang per tahun. Prognosa makin kurang baik apabila kejang timbul pertama kali pada umur muda dan bangkitan kejang sering timbul.
b) Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah aura atau rangsangan tertentu yang dapat menimbulkan kejang, misalnya lapar, lelah, muntah, sakit kepala dan lain-lain. Dimana kejang dimulai dan bagaimana menjalarnya. Sesudah kejang perlu ditanyakan apakah penderita segera sadar, tertidur, kesadaran menurun, ada paralise, menangis dan sebagainya ?
c. Riwayat penyakit sekarang yang menyertai
Apakah muntah, diare, truma kepala, gagap bicara (khususnya pada penderita epilepsi), gagal ginjal, kelainan jantung, DHF, ISPA, OMA, Morbili dan lain-lain.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang terjadi untuk pertama kali ? Apakah ada riwayat trauma kepala, radang selaput otak, KP, OMA dan lain-lain.
e. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Kedaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu pernah mengalami infeksi atau sakit panas sewaktu hamil. Riwayat trauma, perdarahan per vaginam sewaktu hamil, penggunaan obat-obatan maupun jamu selama hamil. Riwayat persalinan ditanyakan apakah sukar, spontan atau dengan tindakan ( forcep/vakum ), perdarahan ante partum, asfiksi dan lain-lain. Keadaan selama neonatal apakah bayi panas, diare, muntah, tidak mau menetek, dan kejang-kejang.
f. Riwayat Imunisasi
Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan serta umur mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada umumnya setelah mendapat imunisasi DPT efek sampingnya adalah panas yang dapat menimbulkan kejang.
g. Riwayat Perkembangan
Ditanyakan kemampuan perkembangan meliputi :
1) Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial) : berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan lingkungannya.
2) Gerakan motorik halus : berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil dan memerlukan koordinasi yang cermat, misalnya menggambar, memegang suatu benda, dan lain-lain.
3) Gerakan motorik kasar : berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.
4) Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan.
h. Riwayat kesehatan keluarga.
Adakah anggota keluarga yang menderita kejang (+ 25 % penderita kejang demam mempunyai faktor turunan). Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit syaraf atau lainnya ? Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA, diare atau penyakit infeksi menular yang dapat mencetuskan terjadinya kejang demam.


i. Riwayat sosial
Untuk mengetahui perilaku anak dan keadaan emosionalnya perlu dikaji siapakah yanh mengasuh anak ? Bagaimana hubungan dengan anggota keluarga dan teman sebayanya ?
j. Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan
Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana ? Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi :
1) Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat
Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis ?Bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita, pelayanan kesehatan yang diberikan, tindakan apabila ada anggota keluarga yang sakit, penggunaan obat-obatan pertolongan pertama.
2) Pola nutrisi
Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi anak. Ditanyakan bagaimana kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh anak ? Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak ? Bagaimana selera makan anak ? Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari ?
3) Pola Eliminasi
BAK: ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah ? Serta ditanyakan apakah disertai nyeri saat anak kencing.
BAB: ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak ? Bagaimana konsistensinya lunak,keras,cair atau berlendir ?
4) Pola aktivitas dan latihan
Apakah anak senang bermain sendiri atau dengan teman sebayanya? Berkumpul dengan keluarga sehari berapa jam? Aktivitas apa yang disukai?
5) Pola tidur/istirahat
Berapa jam sehari tidur ? Berangkat tidur jam berapa ? Bangun tidur jam berapa ? Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur siang ?
2. Data Objektif
a. Pemeriksaan Umum
Pertama kali perhatikan keadaan umum vital : tingkat kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada kejang demam sederhana akan didapatkan suhu tinggi sedangkan kesadaran setelah kejang akan kembali normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan neurologi.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
Adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali? Adakah dispersi bentuk kepala? Apakah tanda-tanda kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu ubun-ubun besar cembung, bagaimana keadaan ubun-ubun besar menutup atau belum?.
2) Rambut
Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien.
3) Muka/ Wajah.
Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah; sisi yang paresis tertinggal bila anak menangis atau tertawa, sehingga wajah tertarik ke sisi sehat. Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah ada gangguan nervus cranial ?
4) Mata
Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva ?
5) Telinga
Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran.
6) Hidung
Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat jalan napas ? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya ?
7) Mulut
Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis? Bagaimana keadaan lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh? Apakah ada caries gigi ?
8) Tenggorokan
Adakah tanda-tanda peradangan tonsil ? Adakah tanda-tanda infeksi faring, cairan eksudat ?
9) Leher
Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid ? Adakah pembesaran vena jugulans ?
10) Thorax
Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan, frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi Intercostale ? Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan ?
11) Jantung
Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ? Adakah bunyi tambahan ? Adakah bradicardi atau tachycardia ?
12) Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen ? Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus ? Adakah tanda meteorismus? Adakah pembesaran lien dan hepar ?
13) Kulit
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Apakah terdapat oedema, hemangioma ? Bagaimana keadaan turgor kulit?
14) Ekstremitas
Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi kejang? Bagaimana suhunya pada daerah akral ?
15) Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina, tanda-tanda infeksi ?
I. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit (terganggunya sistem termoregulasi).
2. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan oksigen di otak
4. Risiko cedera berhubungan dengan adanya kejang
5. Kurang pengetahuan keluarga tentang cara penanganan kejang berhubungan dengan kurangnya informasi.

J. Intervensi Keperawatan
Dx Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit (terganggunya sistem termoregulasi).
- Rasa nyaman terpenuhi.
- Cairan tubuh tetap seimbang antara intake dan output.
- Membran mukosa basah.
- Turgor kulit baik.
- Klien tidak merasa haus.
- Tanda-tanda vital normal. - Berikan cairan elektrolit sesuai dengan kebutuhan.
- Beri minum yang banyak.
- Kolaborasi dengan tim medis (dokter) dalam pemberian cairan infus. - Diharapkan cairan tubuh terpenuhi
- Dapat menambah cairan yang hilang akibat suhu badan yang tinggi.
- Diharapkan dapat memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit.
2. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu
- Pasien dapat menunjukkan volume cairan stabil
- Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu
- Monitor TTV
- Monitor tanda-tanda kekurangan cairan
- Catat intake & output pasien
- Monitor BB
- Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan IV - Untuk mengetahui perkembangan pasien
- Memantau adanya dehidrasi
- Untuk mengetahui keseimbangan masuk & keluarnya makanan
- Memberikan informasi tentang keadekuatan masukan diet atau penentuan kebutuhan nutrisi
- Memenuhi cairan atau nutrisi yang belum adekuatnya masukan oral
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan oksigen di otak

- Perawat dapat menurunkan tanda dan gejala gangguan pertukaran gas
- Pasien dapat menunjukkan peningkatan perubahan pertukaran gas seperti tanda vital, nilai AGD dan ekspresi wajah.
- Menunjukkan frekuensi pernafasan yang efektif
- Menyatakan gejala berkurang
- Menyatakan faktor-faktor penyebab dan menyatakan cara koping adaptif untuk mengatasinya - Monitor TTV
- Kaji adanya bunyi nafas tambahan, peningkatan pernafasan, terbatasnya ekspansi dinding dada dan kelemahan
- Berikan posisi semi fowler
- Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran, catat sianosis dan atau perubahan warna kulit termasuk membran mukosa dan kuku
- Tingkatkan tirah baring atau batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai keperluan
- Kolaborasi pemberian oksigen & obat - Mengidentifikasi keadaan pasien dalam intervensi yang diberikan
- Identifikasi adanya PK pulmonary edema
- Posisi semi fowler memaksimalkan ekspansi paru
- Akumulasi secret atau pengaruh jalan nafas dapat mengganggu oksigenasi organ vital jaringan
- Menurunkan konsumsi oksigen atau kebutuhan selama periode penurunan pernafasan dapat menurunkan beratnya gejala
- Alat dalam memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi sekunder terhadap penurunan ventilasi atau menurunnya permukaan alveolar paru
- Dengan terapi pengobatan dapat mempercepat proses penyembuhan
4. Risiko cedera berhubungan dengan adanya kejang Risiko cedera dapat terkontrol
- Pasien terbebas dari cedera
- Keluarga pasien mampu menjelaskan cara/metode untuk mencegah cedera - Sediakan lingkungan yang aman
- Identifikasi kebutuhan keamanan pasien sesuai kondisi fisik
- Menghindarkan lingkungan yang berbahaya
- Memasang side rail tempat tidur
- Membatasi pengunjung - Mencegah cedera pasien
- Kebutuhan keamanan pasien bergunan untuk mencegah cedera pasien
- Mengurangi risiko cedera
- Perlindungan kepada pasien supaya tidak jatuh dari tempat tidur
- Mengurangi kegelisahan pasien karena banyaknya pengunjung
5. Kurang pengetahuan keluarga tentang cara penanganan kejang berhubungan dengan kurangnya informasi.

Keluarga mengerti maksud dan tujuan dilakukan tindakan perawatan selama kejang.
- Keluarga mengerti cara penanganan kejang.
- Keluarga tanggap dan dapat melaksanakan peawatan kejang.
- Keluarga mengerti penyebab tanda yang dapat menimbulkan kejang. - Informasi keluarga tentang kejadian kejang dan dampak masalah, serta beritahukan cara perawatan dan pengobatan yang benar.
- Informasikan juga tentang bahaya yang dapat terjadi akibat pertolongan yang salah.
- Ajarkan kepada keluarga untuk memantau perkembangan yang terjadi akibat kejang.
- Kaji kemampuan keluarga terhadap penanganan kejang. - Diharapkan keluarga mengetahui cara perawatan dan pengobatan yang benar.
- Diharapkan keluarga mengerti akibat dari pertolongan yang salah.
- Diharapkan keluarga mengerti bahaya dari kejang.
- Dengan mengkaji pada keluarga diharapkan mampu menangani gejala-gejala yang menyebabkan kejang.




DAFTAR PUSTAKA
Betz Cecily L, Sowden Linda A. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC
Fishman, Marvin A. (2007). Buku Ajar Pediatri, volume 3 edisi 20. Jakarta:EGC
Herdman, T. Heather. (2012). Diagnosis Keperawatan: Difinisi Dan Klasifikasi 2012-2014/Editor,T. Heather Herdman; Alih Bahasa, Made Suwarwati Dan Nike Budhi Subekti. Jakarta: EGC
Huda, Nuratif dan Hardhi Kusuma. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa NANDA NIC-NOC. Jakarta : Media Action.
Lumbantobing SM, . (1995). Penatalaksanaan Mutakhir Kejang Pada Anak. Jakarta : Gaya Baru
Lynda Juall C, (1999). Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Penerjemah Monica Ester. Jakarta : EGC
Marilyn E. Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Penerjemah Kariasa I Made. Jakarta : EGC
Matondang, Corry S. (2000). Diagnosis Fisis Pada Anak. Edisi ke 2. Jakarta : PT. Sagung Seto
Rendle John. (1999). Ikhtisar Penyakit Anak. Edisi ke 6. Jakarta : Binapura Aksara
Riyadi dan Sujono, (2009). Buku Saku Pediatri. Jakarta : EGC
Santosa NI. (1989). Perawatan I (Dasar-Dasar Keperawatan). Jakarta : Depkes RI
Santosa NI, (1993). Asuhan Kesehatan Dalam Konteks Keluarga. Jakarta : Depkes RI
Soetjiningsih. (1995). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC
Suharso Darto. (2000). Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya : F.K. Universitas Airlangga
Sumijati M.E, dkk. (2000). Asuhan Keperawatan Pada Kasus Penyakit Yang Lazim Terjadi Pada Anak. Surabaya : PERKANI  
Wahidiyat Iskandar. (1985). Ilmu Kesehatan Anak Edisi 2.  Jakarta : PERKANI
Wong, D.L,dkk. 2008. Pedoman Klinik Keperawatan Pediatrik.

No comments:

Post a Comment