Bayu Aji Sismanto
Sejarah Kabupaten Grobogan
Purwodadi
Sejarah Kabupaten Grobogan
Purwodadi
Berdasarkan perjalanan sejarahnya, Kabupaten Grobogan atau
Daerah Grobogan sudah dikenal sejak masa kerajaan Mataram Hindu. Daerah ini
menjadi pusat Kerajaan Mataram dengan ibu kotanya di Medhang Kamulan atau
Sumedang Purwocarito atau Purwodadi. Pusat kerajaan itu kemudian berpindah ke
sekitar kota Prambanan dengan sebutan Medang i Bhumi Mataram atau Medang Mat i
Watu atau Medang i Poh Pitu atau Medang ri Mamratipura.
Pada masa kerajaan Medang dan Kahuripan, daerah Grobogan
merupakan daerah yang penting bagi negara tersebut. Sedang pada masa Mojopahit,
Demak, dan Pajang, daerah Grobogan selalu dikaitkan dengan cerita rakyat Ki
Ageng Sela, Ki Ageng Tarub, Bondan Kejawan dan cerita Aji Saka.
Pada masa kerajaan Mataram Islam, daerah Grobogan termasuk
Daerah Monconegoro dan pernah menjadi wilayah koordinatif Bupati Nayoko
Ponorogo : Adipati Surodiningrat. Dalam masa Perang Prangwadanan dan Perang
Mangkubumen, daerah Grobogan merupakan daerah basis kekuatan Pangeran
Prangwedana (RM Said) dan Pangeran mangkubumi.
Wilayah Grobogan meliputi daerah Sukowati sebelah Utara
Bengawan Solo, Warung, Sela, Kuwu, Teras Karas, Cengkal Sewu, bahkan sampai ke
Kedu bagian utara (Schrieke, II, 1957 : 76 : 91 ). Daerah Sukowati ini kemudian
sebagian masuk wilayah kabupaten Dati II Sragen antara lain : Bumi Kejawen,
Sukowati, Sukodono, Glagah, Tlawah, Pinggir, Jekawal, dan lain-lain. Daerah
yang masuk wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Boyolali antara lain lain :
Repaking, Ngleses, Gubug, Kedungjati selatan, Kemusu, dan lain-lain.
Sedang daerah Grobogan yang kemudian termasuk wilayah
Kabupaten Daerah Tingkat II Grobogan antara lain : Purwodadi, Grobogan, Kuwu,
sela, Teras Karas, Medang Kamulan, Warung (Wirosari), Wirasaba (Saba), Tarub,
Getas, dan lain-lain.
Dalam pekembangan sejarah selanjutnya, atas ketentuan
Perjanjian Giyanti (1755), sebagai wilayah Mancanegara, Grobogan termasuk
wilayah Kasultanan bersama-sama dengan Madiun, separuh Pacitan, Magetan,
Caruban, Jipang (Bojanegara), Teras Karas (Ngawen), Sela, Warung
(Kuwu-Wirosari) (Sukanto, 1958 : 5-6).
Dalam perjanjian antara GG Daendels dengan PAA Amangkunegara
di Yogyakarta, tertanggal Yogyakarta, 10 Januari 1811, ditetapkan, bahwa
uang-uang pantai yang harus dibayar oleh Guperman Belanda di hapus. Kedua,
kepada Guperman Belanda di serahkan sebagian dari Kedu (daerah Grobogan),
beberapa daerah di Semarang, Demak, Jepara, Salatiga, distrik-distrik Grobogan,
Wirosari, Sesela, Warung, daerah-daerah Jipang,dan Japan. Ketiga, kepada
Yogyakarta diberikan daerah-daerah sekitar Boyolali, daerah Galo (?), dan
distrik Cauer Wetan (?) (Ibid. : 77).
Pada masa Perang Diponegoro, daerah Grobogan, Purwodadi,
Wirosari, Mangor (?), Demak, Kudus, tenggelam dalam api peperangan melawan
Belanda (Sagimun MD, 1960: 32, 331- 332).
Begitulah Kabupaten Grobogan, daerah yang selalu bergolak di
sepanjang sejarahnya untuk menunjukkan identitasnya sebagai daerah yang penuh
daya dan semangat untuk hidup bebas merdeka. Bahkan sampai masa pergerakan
Nasional dan masa kemerdekaan dan sesudahnya, rakyat Kabupaten Grobogan sangat
besar andilnya dalam merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan bangsa dan
negara Republik Indonesia.
Kabupaten Grobogan di Awal Sejarah
Berdasarkan isi dan pola penyajian, yang bersumber pada
Serat Sindula atau serat Babad Pajajaran Kuda Laleyan dan Serat Witoradyo,
cerita Aji Saka merupakan cerita legendaris, dimana di sana dimunculkan
kepahlawanan seorang tokoh dalam lingkup Budaya Jawa (Schrike, Jl: 77; Raffles,
1978: 212).
Di lain pihak cerita Aji Saka di daerah Kabupaten Grobogan
juga merupakan cerita Mitologis, yaitu cerita yang bersangkut paut dengan
kepercayaan asli masyarakat. Oleh karena itulah maka cerita dalam penyajiannya,
cerita Aji Saka diciptakan dalam bentuk cerita "lambang" bagi
penetrasi budaya Hindu di Jawa.
Di sini cerita Aji Saka dapat dikelompokkan sebagai cerita
yang mengandung unsur-unsur mesianis, yaitu karya penyelamatan umat manusia
dari kehancuran. Aji saka sebagai Masias menghancurkan penguasa kejam : Dewata
Cengkar. Beberapa data dari sumber tradisional juga terdapat dalam :
a. J. Kats, I, 1950: Punika Pepethikan saking
Serat-serat Jawi Ingkang Tanpa Sekar. (Hal. 3-5).
Nyai Randa wicanten dhateng Aji
Saka, "Negara kene wis misuwur yen ana Brahmana sekti mandraguna, bagus
isih enom, limpad ing ngelmu panitisan, pingangkane saka Sabrang anga
jawa". Aji Saka gumujeng amangsuli, "Dora ingkang awartos puniko,
angindhakaken ing kayektosanipun. Wondene ingkang kawartos puniko inggih
kula".
b. Primbon Jayabaya, Tan Khoen Swie, Kediri,
1931: (hal. 10;27)
Jangaran jaman Kala Dwapara ...
Prabu Sindula, Galuh turun kapindho, jejuluk Sri Dewata Cengkar, angedhaton ing
Mendhang Kamulan. Iku Ratu luwih niyaya, mangsa padha manungsa. Tan antara lama
kasirnakake prajurit saka tanah Ngarab jejuluk Empu Aji Saka ... Karsaning
Pangeran Sang Aji Saka jumeneng Nata ing Sumedhang Purwacarita, jejuluk Sri
Maha Prabu Lobang Widayaka.
c. Serat Jangka Jagad, Kwa Giok Jing, Kudus,
1957 : hal. 51.
Lha ing kono tanah Jawa banjur ana
kang jumeneng nata kang karen mangan daging manungso, yaitu Ratu Dewata
Cengkar, nata ing Medhang Kamulan. Ora lawas banjur ketekan sawijining Brahmana
saka ing tanah Ngarab, juluk Aji Saka. Brahmana sekti mandraguna kang bisa
ngasorake Prabu Dewata Cengkar …
d. RNG. Ronggowarsito, Serat Witoradyo, III.
Surakarta: Albert Rusche & Co, 1922: hal. 11-23.
Diceritakan, bahwa di tanah Lampung berdiri
sebuah kerajaan dengan rajanya Prabu Isaka berasal dari tanah Hindu. Sang Prabu
Isaka turun takhta dan digantikan oleh Patihnya bernama Patih Balawan. Kemudian
dengan empat orang pengiringnya, Sang Isaka yang telah menjadi seorang Brahmana
pergi ke tanah Jawa dan tiba di Ujung Kulon (Kulon ?). Di situ mendirikan
perguruan dan dia sebagai gurunya dengan gelar Sang Mudhik Bathara Tupangku.
Muridnya bertambah banyak. Di dalam perguruan itu diajarkan ilmu kesusastraan,
ilmu penitisan (inkarnasi), dan ilmu keagamaan. Beberapa lama di Ujung Kulon,
dia pergi ke Galuh dan kemudian terus mengembara ke tanah timur. Sampailah di
negara Medhang Kamulan yang rajanya bernama Prabu Dewata Cengkar.
Dari kutipan di atas, kita ketahui bahwa Aji Saka adalah
seorang raja yang kemudian meninggalkan takhta kerajaannya dan menjadi seorang
Brahmana. Berarti dia adalah penganut agama Hindu. Sebab sebutan untuk
Brahmana. Berarti dia adalah penganut agama Hindu. Sebab sebutan untuk Brahmana
agama Budha adalah bhiksu. Tetapi dari data historis tokoh Aji Saka tidak
pernah ada (hidup). Dengan demikian tokoh ini merupakan tokoh bayangan. Dia
diadakan untuk menunjukkan adanya pengaruh Hinduisme dalam masyarakat Jawa.
Kebetulan pada waktu itu keadaan masyarakat Mendhang Kamulan sedang resah.
Kesempatan ini digunakan oleh Aji Saka (baca umat Hindu) untuk menyebarkan
agama Hindu di masyarakat Mendhang Kamulan. Hal ini dikiaskan dalam lambang
"desthar" (ikat kepala). Tradisi Jawa menggunakan ikat kepala. Sedang
kepala adalah tempat otak, pikir, nalar. Di otak itulah tersimpan segala macam
ilmu pengetahuan manusia. Ikat kepala tadi ketika ditebarkan (di jereng) dapat
menutupi seluruh Wilayah Mendhang Kamulan. Di sinilah pengikut Prabu Dewata
Cengkar harus mengakui kekalahan berebut pengaruh, dan harus menyingkir dari
negeri Medhang (dikiaskan dengan menyeburkan diri ke laut menjadi seekor buaya
putih).
Ketika Aji Saka menjadi raja, ditandai dengan sengkalan
"nir wuk tanpa jalu" yang menunjukkan angka tahun 1000 Saka atau 1078
Masehi. Tahun Saka diciptakan berdasarkan peringatan penobatan Prabu Kanishka
di India pada tahun 79 M = 1 Saka. Tahun Saka mengikuti peredaran Matahari. Di
Jawa terdapat tradisi penggunaan sengkalan tersebut. Apabila menggunakan
perhitungan tahun Matahari, disebut Surya Sengkala, dan bila menggunakan
perhitungan peredaran Bulan di sebut Candra Sangkala. Lahirnya Candra Sangkala
adalah sejak masa Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) menciptakan Tahun
Jawa dengan perhitungan peredaran Bulan (sejak 1555 Saka atau tahun 1633
Masehi).
Sengkalan adalah perhitungan tahun yang diujudkan dalam
bentuk rangkaian kata menjadi kalimat atau berupa gambar yang menunjukkan angka
tahun. Kalimat itu harus menggambarkan keadaan pada waktu tahun itu. Tujuan
untuk memperingati suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia dalam
masyarakat dan bernegara.
Sengkalan dalam bentuk kalimat disebut Sengkalan Lamba,
sedang sengkalan yang diujudkan dalam bentuk gambar atau benda, disebut
Sengkalan Memet. Tiap kata dalam kalimat atau gambar diberi nilai yang
berbeda-beda antara 0 (nol) sampai angka 9 (sembilan) dengan mengingat akan
adanya guru dasanama, guru karya, guru jarwa, dan sebagainya.
Beberapa contoh Sengkalan Lamba antara lain :
1.
Srutti
Indriya Rasa : termuat dalam prasasti Canggal atau prasasti Gunung Wukir dari
Rakai Sang Ratu Sanjaya. Berangka tahun 654 Saka atau 732 Masehi, merupakan
Sengkalan tertua yang pernah kita temukan.
2.
Nayana
Wayu Rasa : termuat dalam prasasti Dinaya dari raja Gajayana di "Candi
Badut" dekat Malang. Sengkalan itu berangka 682 Saka atau 760 Masehi.
3.
Nir
Wuk Tanpa Jalu : termuat dalam Serat Kanda, berangka tahun 1000 Saka atau 1078
Masehi. Merupakan tahun penobatan Aji Saka jadi raja di Medhang Kamulan dengan
gelarnya Prabu Jaka atau Empu Lobang Widayaka.
4.
Sirna
Hilang Kertaning Bumi : termuat di dalam Serat Kanda, berangka Tahun 1400 Saka
? Tahun 1478 Masehi. Sebagai pertanda keruntuhan Keprabuan Mojopahit.
Beberapa contoh Sengkalan Memet :
1.
Di
atas Panggung Sanggabhuwana yang terletak di halaman dalam istana Kasunanan
Surakarta, terdapat bentuk ular naga bersayap yang dinaiki oleh manusia. Bila
dibaca berbunyi : Naga Muluk Tinitihan Janma, berangka tahun 1708 Jawa atau
1781 Masehi.
2.
Panggung
tersebut dapat pula dibaca : Panggung Luhur Sangga Bhuwana. Artinya: panggung =
pa agung bernilai 8; luhur bernilai 0 (nol); Sangga adalah perkumpulan para
pendeta Budha bernilai 7 (tujuh); dan bhuwana bernilai 1 (satu), jadi 1708 Jawa
atau 1781 Masehi. Atau dapat pula di baca : pa-agung (8); song (9); ga angka
Jawa bernilai 1 (satu); bhuwana bernilai 1 (satu). Jadi 1198 Hijrah atau 1781
Masehi. Sengkalan ini sebagai peringatan pembuatan panggung tersebut.
3.
Di
dalam wayang kulit purwa terdapat wayang Bathara Guru naik di atas hewan Lembu
Nandini. Di baca : Sarira Dwija Dadi Ratu. Bernilai 1478 Saka atau 1556 Masehi,
ialah peringatan ketika Sultan Demak membuat wayang kulit purwo sebagai sarana
dakwah Islam.
4.
Ketika
Sultan Agung membuat wayang kulit purwo, maka dibuatlah wayang kulit Buta
Rambut Geni yang merupakan sengkalan pula. Bila dibaca : Jalu Buta Tinata Ing
Ratu. Bernilai tahun 1553 Saka atau 1631 Masehi.
Di atas telah
disinggung sengkalan Nir Wuk Tanpa Jalu. Sengkalan ini dihubungkan dengan waktu
penobatan Aji Saka menjadi raja di Medhang Kamulan setelah dapat mengalahkan Prabu
Dewata Cengkar. Bukti sejarah berupa prasasti misalnya, tidak kita temukan.
Dari kenyataan sejarah, Tahun 1078 Masehi, pusat kerajaan berada di Jawa Timur
sekarang, atau di daerah Manca Nagari zaman kerajaan (daerah Grobogan?), yaitu
kerajaan Mendhang dan Kahuripan zaman Mpu Sendok dan Airlangga. Atau dapat juga
pada masa Kerajaan Jenggala, Panjalu, Ngurawan dan Singasari, empat sekawan
yang berdiri bersama sebagai hasil pembagian wilayah pada masa akhir
pemerintahan Raja Airlangga.
Secara
geografis, sekarang wilayah Kabupaten Grobogan memang terletak di daerah
Propinsi Dati I Jawa Tengah. Namun pada waktu itu negara medhang tidak terletak
di Bumi Mataram (Kedu), tetapi di luarnya, yang pendapat umum ditafsirkan di
daerah Jawa Timur.
Pada Tahun
1078 M terdapat keturunan raja Airlangga yang berkuasa, yaitu Sri Maharaja Sri
Garasakan serta Sri Maharaha Mapanji Alanyung Ahyes. Sudah barang tentu tokoh
Aji Saka tidak dapat disamakan dengan masa Airlangga dan sesudahnya berdasarkan
data-data sejarah yang ada, tidak terjadi perebutan pengaruh agama, tetapi
memang ada gejala perebutan kekuasaan politik. Hal ini dikiaskan dalam cerita
Panji Panuluh. Justru perebutan pengaruh di bidang keagamaan terjadi di masa
Mataram, yaitu masa Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra berbarengan berkuasa
di Mataram. Dinasti Sanjaya menganut Agama Hindu, sedang dinasti Syailendra
menganut agama Budha Mahayana. Masa perebutan pengaruh itu tampak jelas pada
masa Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya) dan Samarottungga Balaputera (Dinasti
Syailendra). Taktik yang digunakan oleh Pikatan untuk memperoleh pengaruh yang
lebih besar adalah dengan cara : dia kawin dengan salah seorang puteri
Syailendra, kakak Balaputera, yaitu Ratu Prarnodhawardani atau Sri Kahulunan.
Peperangan antara Rakai Pikatan melawan Balaputera memang terjadi berdasarkan
prasasti Ratu Baka (856 M = 778 Saka : Wulong Gunung Sang Wiku). Perang
diakhiri dengan kemenangan di pihak Rakai Pikatan (Hindu). Sedang agama Budha
(Balaputera) dalam peristiwa tersebut kalah dan menyingkir ke Swarnadwipa
(Sumatra) dan menjadi raja Sriwijaya tempat penyebaran agama Budha di Asia
Tenggara.
Atas dasar
kenyataan sejarah tersebut, maka cerita Aji Saka harus ditafsirkan sebagai
ceritera lambang yang sangat kuat mengandung unsur mitologis.
Kita ketahui,
bahwa Sengkalan Nir Wuk Tanpa Jalu, arti harafiahnya adalah Hilang Rusak Tanpa
Susuh (ayam jantan) atau Hilang Rusak Tanpa Kekuatan Laki-Laki. Maksudnya
negara atau masyarakat kacau tanpa kekuatan laki-laki. Maksudnya negara atau
masyarakat kacau tanpa kekuatan, karena tenaga laki-laki "dimakan"
oleh Dewata Cengkar, sebagai kias bagi mereka yang diperkerjakan untuk
membangun bangunan suci berupa candi-candi yang tidak sedikit jumlahnya.
Misalnya: candi Borobudur, Pawon, mendhut, Sari, Kalasan, Sewu, Ratu Baka, dan
lain-lain. Inilah gambaran masa akhir bagi kerajaan Medhang di bhumi
Mataram!
Sekarang dimanakah letak Kerajaan Medhang Kamulan itu ?
Perkataan
Medhang (Mendhang) Kamulan terdiri dari dua kata: Medhang dan Kamulan.
perkataan Medhang (Mendhang) berarti "ibu kota". Buktinya :
1.
Prasasti
Kedu (Mantyasih) yang lebih dikenal dengan nama Prasasti Balitung, bertahun 907
M ditemukan di desa Kedu. Antara lain menyebutkan : "rahyang tarumuhun ri
Medhang ri Poh Pitu". (Slamet Mulyono, Sriwijaya: hal. 147). Artinya
pembesar-pembesar terdahulu yang memerintah di Medhang Poh Pitu, atau
pembesar-pembesar yang memerintah terdahulu yang beribu kota di Poh Pitu.
2.
Prasasti
Tengaran (Jombang, Jawa Timur) memindahkan Ibu kota Mendhang dari Poh Pitu ke Mamratipura,
dan raja Wawa mengatakan ibukotanya "ri Mendhang ri Bhumi Mataram",
artinya "di Medhang di Bumi Mataram". Dan nama ibukota ini dalam
prasasti Tengaran tersebut disebut pula "Medhang i Bumi Mat i Watu"
yang artinya "Ibukota di Bhumi Mat i Watu" (Caspaaris, I, 1950 : hal.
39-42).
Jadi jelas bahwa Medhang menjadi ibukota kerajaan Mataram,
kota ini sebagai "kuthagara"nya di Mataram.
Sedang Kamulan berasal dari kata dasar "mula"
mendapatkan awalan "ka" dan akhiran "an", membentuk kata
benda. Arti "mula" adalah awal, asal, atau akar. Untuk memperoleh
penjelasan tentang "mula" tersebut, perlu dikemukakan contoh-contoh
yang diajukan oleh Casparis dalam Prasasti Indonesia I (1950).
Batu dari Siman, Kediri (OJO 28) menyebutkan beberapa kali
"Sang Hyang Dharma Kamulan", yang artinya "Mula Sang Hyang
Dharma" Maksudnya adalah "pendahlu yang telah tiada, atau sebuah
tempat pemakaman nenek moyang". Selanjutnya dalam Prasasti Singasari
disebutkan (OJO 38) "apan ngakai gunung wangkali kamulan Kahyangan ia
pangawan" yang artinya "sebab inilah gunung Wangkali dari Kahyangan
di Pangawan". Jadi disini kata "mula" berhubungan dengan
"gunung suci?, pendahulu, cikal bakal aatau suci.
Dalam Prasasti Karangtengah (824 M) diceritakan bahwa Ratu
Puteri Pramodhawardhani (Sri Kahuluan dan Prasasti Sri Kahuluan th 842)
mendirikan "Kamulan" di Bhumi Sambhara (Budhara) atau bangunan suci
Borobudur. Di sini arti "Kamulan" adalah makam nenek moyang dan
tempat pemujaan.
Dari penjelasan di atas kita dapat menduga mungkin yang dimaksudkan
dengan kata "mula" di sini adalah "asal, cikal bakal, awal atau
permulaan kejadian." Jadi Medhang Kamulan berarti ibukota yang mula
pertama atau asal kejadian.
Sekarang timbul pertanyaan: Di manakah letak ibukota
tersebut? melihat sebutan- sebutan ibukota seperti Medhang i Poh Pitu, Medhang
i Mat i Watu, Medhang ri Mamratipura, ri Medhang ri Bhumi Mataram, menimbulkan
kesan pada kita, bahwa agaknya ibukota tersebut selalu berpindah-pindah tempat,
sebab mungkin terdesak oleh penguasa lain, bencana alam dan lain-lain. Sehingga
ibukota kerajaan : Mojopahit : dari Mojopahit ke Sengguruh; dari Mojopahit ke
Bintara, Demak; Mataram : dari Kerta ke Plered; dari Plered ke Wanakerta atau
kartosuro, dan dari Kartosuro berpindah ke Surakarta, dan sebagainya.
Beberapa ahli menunjuk letak kota Medhang sebagai berikut
:
1.
Di sekitar Prambanan, sebab disitu
banyak peninggalan sejarah berupa candi. Maka disitu pulalah pusat ibukota
kerajaan Medhang. Inilah pendapat Krom, (1957 : 40). Juga dalam cerita Bandung
Bandawasa berperang dengan Prabu Baka di Prambanan dan cerita terjadinya Candi
Sewu dan Candi Lara Jonggrang berlokasi di Prambanan. (Ranggawarsito, III,
1922).
2.
Letaknya
di Purwodadi, daerah Grobogan, sebab di situ terdapat desa Medhang Kamulan,
Kesanga, dan sebagainya yang berkaitan dengan Ceritera Aji Jaka Linglung. Serta
di desa Kesanga terdapat puing-puing bekas istana kerajaan yang diduga bekas
istana kerajaan Medhang. (Raffles, 1978).
3.
Pendapat
purbacarka dalam bukunya "Enkele Oud platsnamen" dalam TBG, 1933,
menyatakan bahwa letak Medhang Kamulan di sekitar Bagelen (Purworejo), sebab di
daerah itu terdapat desa bernama Awu-awu langit dan desa Watukura. Dyah
Watukura adalah nama lain bagi Balitung, salah seorang keturunan Raja Sanjaya.
Desa Awu-awu langit artinya mendung atau Medhang
Dari beberapa pendapat tersebut, yang jelas bahwa ibukota
kerajaan Mataram selalu berpindah-pindah. Sebagai ibukota permulaan adalah
Purwodadi, daerah Grobogan, kemudian berpindah ke sekitar Prambanan, kemudian
berpindah ke daerah Kedu Bagelen, dan berpindah ke Prambanan lagi, baru sesudah
itu berpindah ke Jawa Timur.
Alasan menentukan ibukota pertama di Purwodadi adalah
:
1.
"Purwa"
berarti "permulaan" (Jawa: kawitan). "Dadi" artinya
"jadi" (Jawa : Dumadi). Yang mula-mula jadi, purwaning dumadi,
sangkan paraning dumadi. Hal ini dikaitkan dengan ceritera Aji Saka dengan
Carakan Jawanya yang mengandung hidup, dan kehidupaan manusia
"Manunggaling Kawula Gusti", dari sejak asal mula manusia di dunia
ini.
2.
Bila
kita tinjau letak geografisnya, memang lebih sesuai, sebab didaerah tersebut
mudah mencari air, padahal setiap makhluk membutuhkan air. Daerah ini
memanfaatkan air sungai Lusi dan beberapa anak sungainya untuk lalu lintas,
pengairan kebutuhan hidup sehari-hari. Lagi puia daerah ini tidak jauh dari
laut, bahkan mungkin terletak di tepi pantai Laut Jawa.
3.
Di
dalam Primbon Jayabaya (hal.27) dikatakan bahwa Aji Saka naik takhta di negara
Sumedang Purwacarita. Perkataan "Sumedhang" di sini bukanlah kota
Sumedang di Jawa Barat sekarang, tetapi dimaksudkan kota Medhang yang sangat
baik. Jadi Sumedang Purwacarita artinya ibukota Medhang yang sangat baik bagi
(negara) Purwacarita. Purwa berarti permulaan; carita berarti cerita, kejadian,
purwaning dumadi, sangkan paraning dumadi. Dengan demikian Sumedhang
Purwacarita identik dengan Medhang (Mendhang) Kamulan yang lahir di Mataram
(negeri ibu, ibu pertiwi) yang pertama kali.
Selanjutnya bagaimana cerita tentang Grobogan ?
Menurut cerita tutur yang beredar di daerah Grobogan, suatu
ketika pasukan Demak di bawah pimpinan Sunan Ngudung dan Sunan Kudus menyerbu
ke pusat kerajaan Mojopahit. Dalam pertempuran tersebut pasukan Demak
memperoleh kemenangan gemilang. Runtuhlah kerajaan Mojopahit. Ketika Sunan
Ngundung memasuki Istana, dia menemukan banyak pusaka Mojopahit yang
ditinggalkan. Benda-benda itu dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam sebuah
grobog, kemudian dibawa sebagai barang boyongan ke Demak.
Peristiwa tersebut sangat mengesankan hati Sunan Ngudung.
Sebagai kenangan, maka tempat tersebut diberi nama Grobogan yaitu tempat berupa
grobog.
Di atas dijelaskan, bahwa grobog adalah sebuah kotak persegi
panjang yang digunakan untuk menyimpan uang atau barang yang dibuat dari kayu.
Kadang-kadang berbentuk bulat, agar mudah membawanya dan dengan cepat dapat
diselamatkan apabila ada bahaya mengancam, misalnya bahaya kebakaran. Tetapi
grobog juga dapat berarti kandang yang berbentuk kotak untuk mengangkut
binatang buas (misalnya: harimau) hasil tangkapan dari perburuan. Grobog
tersebut dapat juga digunakan sebagai alat penangkap harimau. Grobog ini biasa
disebut Grobog atau bekungkung (bila kecil disebut: jekrekan untuk menangkap
tikus) (Geriecke dan Roorda, 1901 : 569).
Dari penjelasan diatas, Grobogan berasal dari kata Grobog
yang dalam salam ucapnya menjadi "grogol". yaitu alat penangkap
binatang buas. Di Kotamadya Surakarta terdapat kampung bernama Grogolan, yang
dahulu tempat mengumpulkan harimau hasil perburuan (digrogol atau dikrangkeng).
Di perbatasan Kotamadya Surakarta dengan Kab. Dati II Sukoharjo terdapat desa
yang bernama desa Grogol, Kec. Grogol, ialah daerah perburuan Sunan Surakarta
dan Pajang pada zaman kerajaan.
Sejalan dengan penjelasan di atas maka Grobogan adalah
sebuah daerah yang digunakan sebagai daerah perburuan. Dan ternyata daerah ini
merupakan daerah perburuan Sultan Demak (Atmodarminto, 1962 : 119) atau
merupakan daerah persembunyian para bandit dan penyamun zaman Kerajaan Demak
Pajang (Atmodarminto, 1955 : 123). Pada zaman Kartasura daerah ini merupakan
daerah tempat tinggal tokoh-tokoh gagah berani dalam berperang (Babad
Kartosuro, 79), misalnya : Adipati Puger, Pangeran Serang, Ng. Kartodirjo, dan
lain-lain.
Samana jeng Suitan karsa lelangen, amburu sato ing wanadri,
Trenggono kadherekaken para abdi, mring Sela wus laju maring anggrogol sato
wana. (Admadarminto, 1062 : 19).
Dalam abad XIX daerah Grobogan merupakan daerah
persembunyian para pahlawan rakyat penentang kekuasaan kolonial Belanda,
bersama-sama dengan daerah Sukowati. Daerah ini sangat cocok sebagai daerah
persembunyian, karena merupakan daerah hutan jati yang lebat dan berbukit-bukit
No comments:
Post a Comment