RS Awal Bros, Sukses yang Berawal dari Kenekatan
Jumat, 3 November 2017 13:17
Sumber https://suryaemed.wordpress.com/2012/02/05/rs-awal-bros-sukses-yang-berawal-dari-kenekatan/
Berkat kekerasan tekad alm. H. Awaloedin, RS Awal Bros tetap berdiri
di tengah badai krismon. Kini, di tangan anaknya, Arfan Awaloedin, rumah
sakit ini tak hanya hadir di Pekanbaru, tetapi juga di Batam, Bekasi,
Tangerang dan Makassar. Apa rahasia keberhasilannya?
Arfan
Awaloedin tak akan pernah melupakan kejadian yang hingga kini sangat
membekas di ingatannya, yaitu ikhwal pendirian rumah Sakit Awal Bros
(RSAB). Putra bungsu pendiri RSAB, alm. H. Awaloedin, ini mengungkapkan,
ide pendirian RSAB terlontar begitu saja dari mulut ayahnya pada saat
sarapan pagi keluarga pada 1996.
“Bagaimana kalau kita bikin rumah sakit?” ujarnya mengulang ucapan
sang ayah saat itu. Pertanyaan yang tak pernah diduga itu membuat mereka
saling pandang dan terdiam sejenak. Hingga akhirnya Arfan memberanikan
diri dan mengiyakan tantangan tersebut. “Ya sudah, kita bikin,” katanya
mengenang. “Tapi, saya bilang juga waktu itu, kalau bikin, mending yang
besar sekalian,” ungkap bungsu dari 12 bersaudara itu. Pertimbangannya,
kalau hanya rumah sakit kecil, paling-paling cuma bisa mengobati demam,
batuk dan pilek. Usulan Arfan ini disetujui kakak-kakaknya. Jadilah,
Arfan diserahi tugas mempersiapkan segala sesuatu untuk pendirian RSAB.
“Sebenarnya, ini untuk menjawab ketersinggungan ayah saya,” kata
Arfan. Diceritakannya, ayahnya yang notabene pebisnis sekaligus veteran
rupanya tersentuh rasa nasionalismenya lantaran sering diejek karena
berobat ke Singapura. Saat itu ayahnya pun menyatakan tekadnya untuk
membangun rumah sakit. “Apalagi, di antara anak-anaknya ada yang jadi
dokter juga,” ujar Arfan.
Melihat tanggapannya yang lugas itu, sang ayah menunjuk Arfan yang
bertanggung jawab atas kelahiran bisnis baru tersebut. Sejak itu ia
melakukan sejumlah persiapan mulai dari proposal hingga lobi. Sebenarnya
ia sama sekali buta tentang bisnis rumah sakit. Jangankan manajemen,
medical equipment pun ia tak paham. “Apalagi, waktu itu pemerintah masih
melarang bisnis rumah sakit,” ujarnya. Namun, hal itu tak menyurutkan
semangatnya. Sebaliknya, ia ingin membuktikan kepada ayahnya bahwa hal
itu bisa ia wujudkan.
Awalnya, ia mengajukan pinjaman ke
perbankan. Nyatanya, tak mudah mencari pinjaman karena bank-bank masih
ragu memberi pinjaman karena kala itu bisnis rumah sakit tergolong masih
suram. “Ya akhirnya memang dapat dari BNI. Itu pun lantaran mereka
melihat bisnis Grup Awal Bros,” kata Arfan. Maklum, di Pekanbaru,
bendera Awal Bros cukup berkibar. Saat itu, Awal Bros memiliki sejumlah
bisnis, meliputi penyewaan mining equipment hingga SPBU dan SPBE.
Chevron (dulu Caltex) dan Pertamina adalah klien utamanya. Rupanya,
fondasi bisnis grup itulah yang menjadi alasan BNI memberikan pinjaman.
Maka, pada 1997 rumah sakit itu mulai dibangun. Ia beruntung karena
waktu itu pemerintah merilis peraturan yang memungkinkan swasta
memiliki rumah sakit di bawah payung perseroan terbatas. Meski tak bisa
menjelaskan total investasi rumah sakit pertama kali, ia memastikan
project cost-nya mencapai Rp 22 miliar. Namun sayang, baru beberapa
bulan berjalan, datang krisis moneter. Saat itu proyek pembangunan baru
berjalan 50% (belum termasuk pengadaan peralatan kesehatan). Di sisi
lain, kurs dolar membubung. Padahal, semua pembelian menggunakan dolar.
“Struktur pembiayaan dari bank waktu itu 70%-30%. Di sini, bank
memberikan belasan miliar,” katanya.
Saat itu Arfan sempat patah arang. Terbersit keinginan untuk mundur
dari rencana semula. Akhirnya, “Saya bilang ke ayah untuk berhenti dulu,
karena secara bisnis tidak memungkinkan,” ujar Arfan mengenang
saat-saat sulit itu. Sarannya itu dibalas dengan murka ayahnya. “Bapak
bilang kalau rumah sakit ini lebih ke alasan moral. Beliau menyuruh saya
untuk terus jalan,” katanya. Bukan itu saja, segala kekurangan keuangan
akan ditanggung sang ayah dari uang pribadinya. Ketika Arfan
mendiskusikan hal ini dengan saudara-saudaranya, mereka pun menyarankan
jalan terus. “Mereka bilang, kalau orang tua ngomong, pasti ada sesuatu
di situ.”
Dan benar. Penghasilan dalam dolar yang diperoleh grup menjadi sumber
subsidi untuk rumah sakit. Project cost yang mestinya Rp 22 miliar dan
menjadi dua kali lipat berhasil diatasi. Alhasil, pada akhir Agustus
1998 RSAB Pekanbaru berhasil diresmikan. Namun, bukan berarti kendala
keuangan sudah terlewati. Bunga pinjaman mulai berjalan. Repotnya,
besaran bunga melesat tajam. “Bunga deposito mencapai 60%. Akhirnya,
saya ngomong ke BNI bahwa saya sanggup bayar, tetapi minta keringanan,”
ujarnya. Langkah ini cukup mujarab juga. Pasalnya, kala itu banyak
pengutang yang mengemplang. Alih-alih membayar bunga, pokoknya saja
tidak dibayar. “Akhirnya, bunga pinjaman saya tetap 17%, sesuai dengan
akad,” ujarnya. Dan, semuanya berjalan lancar hingga krismon berhasil
dilewati.
Lepas dari krismon, masalah baru mulai menghadang. Di Pekanbaru, RSAB
tergolong mentereng. Malah bisa dibilang mewah. Namun masalahnya, RSAB
kesulitan mencari dokter. “rumah sakit mewah, tapi tidak ada dokternya,”
katanya. Malah, sekali peristiwa ada pejabat yang tidak sempat
tertangani hanya gara-gara dokter sedang praktik di tempat lain.
“Akhirnya, saya meminta tenaga medis dari RSCM (Jakarta),” ujar Arfan
yang kala itu mengaku mendatangkan tujuh dokter spesialis. Diakuinya,
pada awal lahirnya RSAB masalah sumber daya manusia, terutama tenaga
dokter, merupakan masalah yang cukup serius.
Alhasil, setelah kehadiran dokter-dokter dari Jakarta ini, kualitas
pelayanan meningkat drastis. Akan tetapi, masalah lain muncul lagi,
yaitu meningkatnya persaingan antardokter. “Saya lupa nasib
dokter-dokter daerah,” katanya. Hingga akhirnya dokter daerah berdemo.
Alasannya, Arfan dianggap arogan dan melecehkan profesi dokter. Konflik
ini berlangsung cukup lama. Saat itu ia mengupayakan mediasi dari Dinas
Kesehatan Pekanbaru dan Ditjen Pelayanan Medis, tetapi hal ini sempat
menemui jalan buntu.
Akhirnya, Arfan menerapkan sistem dokter full time. Dokter hanya
bertugas di RSAB. Langkah ini dianggap cukup tepat. Meski, kenyataannya
tidak benar-benar meredam. Kejadian ini menginspirasi Arfan untuk
mendalami pendidikan bidang rumah sakit dan ia mengambil Jurusan
Magister Adiministrasi rumah Sakit Universitas Indonesia. “Saya sekolah
supaya ada harganya di hadapan dokter. Apalagi, waktu itu umur saya
masih 29 tahun,” katanya. Sebagai pemimpin, ia mengaku sering dianggap
remeh oleh bawahannya, terutama dokter-dokter. Hal ini membuat pria
kelahiran Pekanbaru 22 Januari 1970 ini cukup sering meletup emosinya.
“Suatu kali saya iseng ke luar negeri saat pembayaran professional fee.
Nah, kan tidak ada yang meneken cek. Dari situ mereka tahu bahwa saya
bos mereka. Dan, akhirnya mereka benar-benar menerima dokter dari RSCM,”
ujarnya mengenang saat itu.
Melihat situasi lebih kondusif, baik internal maupun eksternal, Arfan
mendapat tantangan baru dari ayahnya, yakni membuka cabang baru di
Batam pada 2001. “Saya bilang, apa kita mau berantem dengan Singapura?”
katanya. Namun, ayahnya mengatakan justru itu peluang. Misalnya, tidak
mungkin orang kena serangan jantung malam-malam akan ke Singapura.
Sementara, feri ke Singapura hanya sampai pukul 9 malam. Akhirnya, tahun
2001 ia mulai membuka cabang baru. Kebetulan mereka mendapat dukungan
dari Ketua Otorita Batam (saat itu) Ismet Abdullah. “Beliau sangat
concern pada kesehatan dan meminta ini menjadi landmark Batam,” katanya
sambil menjelaskan, RSAB Batam mulai beroperasi pada 2003.
Perlahan tetapi pasti RSAB berkembang bagus. Bisnis yang rencananya
hanya untuk kemanusiaan kini dijadikan divisi baru dalam grup. “Jadi,
kami punya divisi kontraktor alat berat, properti dan health care,” ujar
Arfan. Ia sendiri memimpin divisi health care. Sayangnya, ia enggan
membeberkan geliat bisnis di divisi kontraktor dan alat berat. “Karena
yang menangani orang yang berbeda,” demikian alasannya.
Menurut Arfan, ayahnya merupakan pebisnis yang berintegritas tinggi.
Ayahnya tidak pernah main-main dengan integritas. Bahkan, ia mengaku
sempat kena tulah (kualat) gara-gara mengesampingkan integritas. “Tahun
2002 saya sempat membuat perusahaan sendiri,” ungkapnya. Perusahaan
miliknya itu bergerak di bidang yang sama dengan Awal Bros, yaitu
kesehatan. Target pasarnya sama: Pertamina dan Chevron. Perusahaan
pribadinya ini malah sempat mengungguli kinerja grup. “Karena, saya
cukup berpengalaman di divisi itu. Makanya, saya selalu menang tender.”
Tahu kelakuan anak bungsunya, ayah Arfan tidak marah. Malah
memberikan modal. “Syaratnya, saya harus keluar dari grup,” ujar Arfan.
Di sinilah Arfan mulai sadar akan perbuatannya. “Saya sadar orang tidak
kenal Arfan. Saya pinjam uang dari bank juga dengan nama grup, bukan
Arfan. Akhirnya, saya tutup perusahaan pribadi saya itu,” ujarnya. Di
mata Arfan, ayahnya adalah “buku bisnis” yang paling bagus. “Beliau
memang orang daerah, tradisional. Tetapi nilai-nilai bisnis yang
dikatakan dan dijalankan justru saya temukan di buku-buku bisnis
terkenal. Padahal, beliau cuma lulusan Sekolah Rakyat.”
Arfan menceritakan, ayahnya membangun korporasi Awal Bros pada medio
1950-an. Saat itu bisnisnya baru meliputi supplier dan trading hasil
perkebunan dan karet meskipun tidak memiliki lahan perkebunan sendiri.
Awaloedin yang asli Pekanbaru juga berprofesi sebagai tentara (pejuang
kemerdekaan). Naluri bisnisnya sebenarnya sudah muncul sejak ia menjadi
tentara. “Beliau menyelundupkan bahan makanan dari Singapura ke
Indonesia,” kata Arfan. Bahan makanan itu untuk mencukupi kebutuhan para
pejuang kemerdekaan di medan tempur.
Seusai revolusi fisik, Awaloedin mulai serius berbisnis dengan
mengembangkan Awal Bros. Bisnisnya pun makin berkembang. Tahun 1960-an,
Awal Bros berstatus Firma. Mitra kerjanya pun bertambah. Pertamina dan
Caltex (sekarang Chevron) merupakan mitra terbesarnya hingga sekarang.
Awal Bros bekerja sama dengan raksasa minyak itu dalam hal pengangkutan.
Selain itu, ia juga menyewakan peralatan di pertambangan. “Segala
pengangkutan dan kendaraan kecil, sedang dan besar di pertambangan kami
yang menyewakan.”
Diakui Arfan, tidak mudah mengharmoniskan bisnis keluarga, terutama
di antara 12 anak. Untuk ini, Awaloedin punya cara sendiri. Nah, dalam
grup usaha keluarganya tidak ada putra mahkota. “Ayah membiarkan anaknya
saling bersaing di perusahaan,” ujarnya. Namun, persaingan itu tetap
dipantau. Caranya, dengan sarapan bersama, misalnya. Rupanya, tidak
hanya tak memiliki putra mahkota, anak-anaknya pun tidak punya hak
kepemilikan di perusahaan. “Sampai sekarang, saya ini orang gajian. Saya
merasa memiliki, tapi tidak punya saham,” ungkapnya sembari tersenyum.
Hal inilah yang membuat perahu bisnis Awal Bros tetap berjalan hingga
sekarang.
Menjalankan usaha rumah sakit, menurut Arfan, tidak sepenuhnya
bisnis. Malah beberapa kalangan menganggap bisnis rumah sakit haram
hukumnya. “Kombinasi bisinis dan hati nurani, itu yang penting,”
katanya. Ia mencontohkan, tatkala ada orang terkapar, bisa saja pihaknya
memberikan treatment medis sesuka hati untuk menangguk untung. “Saya
lakukan CT scan atau kasih obat ini-itu, dia kan menurut saja. Nah, di
sinilah sisi profesional kita diuji. Kalau tidak perlu, kenapa diberi
penanganan itu semua?” katanya lagi. Ia berprinsip harus memberikan
penanganan yang benar pada pasien. Sebab, dengan cara ini, kepercayaan
akan timbul, dan pasien jadi banyak. Diakuinya, menjaga kepercayaan dan
kepuasan konsumen menjadi senjata andalannya. Karena nyatanya, ia
mengaku tidak pernah berpromosi. “Ya cuma dari mulut ke mulut. Pasien
merekomendasikan ke keluarganya.”
Tahun 2006 Arfan merambah sekitar Jakarta. Untuk itu, ia bermitra
dengan Yos E. Susanto mendirikan RS Global Medika di Tangerang. Dua
tahun berikutnya (2008) ia meluncurkan Global Awal Bros Hospital,
Bekasi. Lalu, pada 2009 ia menggandeng Erwin Aksa (Grup Bosowa) untuk
menghadirkan Global Awal Bros Hospital di Makassar. Karenanya, saat ini
ia memiliki lima cabang. Porsi saham antara dirinya dan Yos berbanding
sama. “Saya dengan Pak Yos 50-50,” kata Arfan yang mengaku telah jatuh
cinta pada bisnis health care.
Dalam hal fasilitas, RSAB memiliki beberapa layanan unggulan.
Sebutlah, total knee arthroplasty, minimally invasive surgery, audiology
center, USG 4 D, hemodialisis, neurophysiology, orthopaedic center dan
cancer center. Di bisnis health care ini, selain RS, Awal Bros juga
punya Harmonia (klinik spesialis kulit), Westerindo (laboratorium),
Cikarang Medical Center, dan 24 Medicare (in-house clinic) yang diklaim
telah menjangkau seluruh Indonesia. Menurut Arfan, bisnis rumah sakit
adalah bisnis jangka panjang karena dalam keadaan normal bisnis ini bisa
meraih breakeven point dalam 7-10 tahun. Adapun soal investasi, Arfan
memberi gambaran sekitar US$ 130 ribu per tempat tidur. Tiap rumah sakit
yang memiliki 300-400 karyawan ini memiliki 130-170 tempat tidur.
Erwin Aksa, salah seorang mitranya, mengaku puas berkolaborasi dengan
Arfan untuk mengembangkan rumah sakit di Makassar. Alasannya, Arfan
dinilai cukup mumpuni dalam peta bisnis rumah sakit. “Beliau tahu
seluk-beluk duniarumah sakit,” kata Erwin. Pengalaman
mengembangkan rumah sakit dari Pekanbaru hingga Jakarta membuat Erwin
yakin untuk bekerja sama.
Di mata Erwin, Arfan merupakan sosok muda yang cukup sukses. “Beliau
sangat fokus mengembangkan industri kesehatan,” ujarnya. Di tengah
karut-marutnya pelayanan kesehatan dari pemerintah, Arfan seperti
menjadi salah satu pembuka jalan dalam pelayanan kesehatan. “Banyak
orang kita yang berobat di luar negeri karena di sini layanan kesehatan
kurang baik,” kata dia. Karena alasan itulah, Erwin berpendapat,
pengembangan rumah sakit swasta memang perlu ditingkatkan.
Erwin yang mengaku berbagi kepemilikan 50-50 di Global Awal Bross
Hospital, Makassar, menilai Arfan memiliki kepemimpinan yang bagus. Tak
berbeda jauh dari kepemimpinannya di organisasi. “Pak Arfan sangat aktif
di organisasi. Beliau menjunjung tinggi profesionalitas,” kata Ketua
Umum Hipmi itu. Sebagai pengusaha daerah yang tumbuh dari bisnis
keluarga, Arfan dinilainya juga cukup terbuka. “Dia mau membuka diri
untuk ekspansi dan mengembangkan bisnisnya,” keponakan Jusuf Kalla itu
menambahkan. (SWA/Yuyun Manopol)