LAPORAN PENDAHULUAN
STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN
STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN
CIDERA
KEPALA
-
PENGERTIAN
Cedera
kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit
kepala tulang tengkorak, duramater, pembuluh darah serta otaknya
mengalami cedera baik yang trauma tertutup maupun trauma tembus
(Satyanegara, 2010). Cedera Kepala juga dapat didefinisikan sebagai
kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai
respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial (Smeltzer, 2000). Sehingga dapat menimbulkan kelainan
struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak. (Fearnside,
1997).
-
PENYEBAB
Etiologi
atau penyebab dari trauma kepala ini antara lain :
-
Kecelakaan lalu lintas/industri
Dari
kebanyakan kasus trauma yang terjadi, kecalakaan lalu lintas adalah
penyebab terbanyak. Baik itu kecelakaan lalu lintas darat, air dan
udara.
-
Jatuh dari suatu ketinggian
-
Benturan benda tajam/ tumpul
-
Trauma pada saat kelahiran
-
Benturan dari objek yang bergerak (cedera akselerasi)
Kejadian
yang termasuk cedera akselerasi adalah ketika seseorang berjalan,
kemudian tiba – tiba tertabrak mobil dari belakang. Pada kejadian
akselerasi jantung akan bekerja dengan kecepatan yang telah
dipercepat ( kerja jantung semakin cepat ) sehingga dapat berakibat
fatal pada penderita.
-
Benturan kepala pada benda padat yang tidak bergerak (cedera deselerasi)
Kejadian
yang termasuk cedera deselerasi adalah ketika sebuah mobil menabrak
pohon. Pada kejadian deselerasi, sebuah benda yang memiliki kecepatan
akan dihentikan secara mendadak. Sehingga jantung yang pada awalnya
bekerja sesuai dengan kecepatan sebelumnya, akan tiba – tiba
dihentikan secara mendadak. Hal ini akan dapat mempengaruhi
hemodinamik pasien (Tarwoto dkk, 2007).
-
Faktor Risiko Cedera Kepala
-
Usia
Usia
muda atau remaja dan dewasa lebih berisiko terkena cedera kepala
karena aktivitas yang dilakukannya.
-
Gaya hidup
Gaya
hidup seperti kebiasaan mengonsumsi alkohol berisiko terhadap
terjadinya cedera kepala berhubungan dengan risiko terjatuh atau
terbentur.
-
Aktivitas yang tidak baik
Aktivitas
yang tidak baik misalnya kebut-kebutan di jalanan dan tidak
menggunakan alat proteksi diri seperti helm meningkatkan risiko
keparahan cedera kepala.
-
Penggunaan senjata yang tidak semestinya
-
Mengantuk dan kelelahan
-
Jenis kelamin
Risiko
laki-laki terkena cedera kepala lebih besar karena aktivitas
laki-laki lebih berisiko terhadap cedera kepala, seperti kecelakaan
di jalanan, kebut-kebutan, dan lain-lain.
-
Cara berjalan yang tidak stabil (Tarwoto dkk, 2007)
-
KLASIFIKASI
Menurut
GCS ( Glasgow Coma Scale)
-
Cedera Kepala Ringan (CKR)
-
GCS > 13
-
Tidak terdapat kelainan pada CT Scan Otak
-
Tidak memerlukan tindakan operasi
-
Lama dirawat di RS< 48 jam
-
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang 30 menit
-
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma
-
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
-
Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit
-
Cedera Kepala Sedang (CKS)
-
GCS 9-13 (konfusi, letargi atau stupor)
-
Ditemukan kelainan pada CT scan
-
Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
-
Dirawat di RS setidaknya 48 jam
-
Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam
-
Dapat mengalami fraktur tengkorak (tanda Battle,hemotimpanum, otorea ( keluar cairan dari telinga ) atau rinorea ( keluar cairan dari hidung ).
-
Cedera Kepala Berat (CKB)
-
Terjadi 48 jam setelah trauma
-
GCS < 9 (koma)
-
Kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
-
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intrakranial (George dkk, 2009)
Berdasarkan
Kerusakan Jaringan Otak
-
Komosio Serebri (geger otak)
Geger
otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran keras
atau menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak
, termasuk kemungkinan kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang
disebabkan cedera pada kepala. Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu :
hilang kesadaran, sakit kepala berat, hilang ingatan (amnesia), mata
berkunang-kunang, pening, lemah, pandangan ganda.
-
Kontusio serebri (memar otak)
Memar
otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan
oleh pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar
dan pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah dalam otak pecah
dan perdarahan pasien pingsan, pada keadaan berat dapat berlangsung
berhari-hari hingga berminggu-minggu. Terdapat amnesia retrograde,
amnesia pascatraumatik, dan terdapat kelainan neurologis, tergantung
pada daerah yang luka dan luasnya lesi:
-
Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan tekanan intracranial yang dapat menyebabkan kematian.
-
Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat Cheyne-Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas dekortikal (kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi)
-
Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga koma, pernafasan hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat (tidak teratur), regiditasdesebrasi (tungkai dan lengan kaku dalam sikap ekstensi).
-
Konfusio Serebri
Gangguan
fungsi neurologik disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur
tengkorak, massa otak terkelupas keluar dari rongga intrakranial
(Wahjoepramono, 2005).
-
Laceratio Cerebri (trauma kapitis berat)
Sobekan
pada jaringan otak karena tekanan atau fraktur dan luka tusukan.
Dapat terjadi perdarahan, hematoma dan edema cerebral. Akibat
perdarahan dapat terjadi ketidaksadaran, hemiplegi dan dilatasi
pupil, cerebral laceratio diklasifikasikan berdasarkan lokasi
benturan yaitu : Coup, counter coup lesi tidak langsung terjadi pada
tempat pukulan melainkan terlihat pada bagian belakangnya (George
dkk, 2009)
Berdasarkan
Tipe Trauma
-
Cidera Kepala Terbuka
Trauma
ini menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak, laserasi durameter,
dan kerusakan otak jika tulang tengkorak menusuk otak.
-
Cidera kepala Tertutup
Trauma
kepala tertutup terbagi menjadi 2 macam, yaitu komusio serebri/gegar
otak dan kontusio serebri/memar otak (Wahjoepramono, 2005).
Berdasarkan
Lokasi Hematoma
-
Hematoma epidural
Perdarahan
terjadi diantara durameter dan tulang tengkorak. Perdarahan ini
terjadi karena terjadi akibat robeknya salah satu cabang arteria
meningea
media,
robeknya sinus
venosus durameter atau
robeknya arteria
diploica.
Robekan ini sering terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak.
Gejala yang dapat dijumpai adalah adanya suatu lucid
interval (masa
sadar setelah pingsan sehingga kesadaran menurun lagi), tensi yang
semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah tinggi, nadi
yang semakin bertambah lambat, hemiparesis,
dan terjadi anisokori
pupil.
-
Hematoma subdural
Perdarahan
terjadi di antara durameter
dan
arakhnoidea.
Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging
veins)
yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus
venosus di
dalam durameter atau karena robeknya arakhnoid.
Gejala yang dapat tampak adalah penderita mengeluh tentang sakit
kepala yang semakin bertambah keras, ada gangguan psikis, kesadaran
penderita semakin menurun, terdapat kelainan neurologis seperti
hemiparesis, epilepsy, dan edema papil.
Klasifikasi
hematoma subdural berdasarkan saat timbulnya gejala klinis :
-
Hematoma Subdural Akut
Gejala
timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat
kurang dari 5mm tebalnya tetapi melebar luas.
-
Hematoma Subdural Sub-Akut
Gejala-gejala
timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan dapat
lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsul disekitarnya.
-
Hematoma Subdural Kronik
Gejala
timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma.
Kapsula jaringan ikat mengelilingi hematoma. Kapsula mengandung
pembuluh-pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama di sisi
durameter. Pembuluh darah ini dapat pecah dan membentuk perdarahan
baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula
akan terurai membentuk cairan kental yang dapat mengisap cairan dari
ruangan subarakhnoid.
Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti tumor serebri..
-
Hematoma Sub Araknoid
Hematoma
subaraknoid terjadi akibat rupturnya bridging vein pada ruang
subaraknoid, atau pembuluh darah yang ada pada permukaan jaringan
otak (Wahjoepramono, 2005).
-
Hematoma intraserebral
Perdarahan
dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam
jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat.
Gejala-gejala yang ditemukan adalah :
-
Hemiplegi
-
Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang meningkat.
-
Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri media yang tidak normal.
-
Fraktura basis kranii
Hanya
suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan
fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit
dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma
yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrigad
dan
amnesia pascatraumatik. Gejala tergantung letak frakturnya:
-
Fraktur fossa anterior
Darah
keluar beserta likuor serebrospinal
dari
hidung atau kedua mata dikelilingi lingkaran “biru” (Brill
Hematoma atau
Racoon’s
Eyes),
rusaknya Nervus
Olfactorius sehingga
terjadi hyposmia sampai anosmia.
-
Fraktur fossa media
Darah
keluar beserta likuor serebrospinal
dari
telinga. Fraktur memecahkan arteri carotis
interna yang
berjalan di dalam sinus cavernous
sehingga
terjadi hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V
shunt).
-
Fraktur fossa posterior
Tampak
warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas
oramen
magnum dan
merusak medula
oblongata sehingga
penderita dapat mati seketika (George dkk, 2009).
-
MANIFESTASI KLINIK
-
GCS 9-13 (konfusi, letargi atau stupor)
-
Ditemukan kelainan pada CT scan
-
Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam
-
Dapat mengalami fraktur tengkorak (tanda Battle,hemotimpanum, otorea ( keluar cairan dari telinga ) atau rinorea ( keluar cairan dari hidung ) (George dkk, 2009).
Menurut
Ginsberg (2005), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
-
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah :
-
Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga diatas os mastoid)
-
Hemotipanum (perdarahan di daerah membrane timpani telinga)
-
Periorbital eccymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
-
Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
-
Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
-
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan
-
Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh
-
Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan
-
Mual atau muntah
-
Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun
-
Perubahan kepribadian diri
-
Letargi
-
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat
-
Symptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun atau meningkat
-
Perubahan ukuran pupil (anisokoria)
-
Triad Chusing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan)
-
Apabila meningkatnya tekanan intracranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal ekstrimita.
Tanda
dan gejala cidera kepala menurut letak yang ditemukan antara lain
(Muttaqin, 2009) :
-
Epidural Hematoma
Terdapatnya
pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan durameter akibat
pecahnya pembuluh darah / cabang-cabang arteri meningeal media yang
terdapat durameter, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri
karena itu sangat berbahaya. Gejala-gejala yang terjadi :
-
Penurunan tingkat kesadaran
-
Nyeri kepala
-
Muntah
-
Hemiparesis
-
Dilatasi pupil ipsilateral
-
Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal irregular
-
Penurunan nadi
-
Peningkatan suhu
-
Subdural Hematoma
Terkumpulnya
darah antara durameter dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan
kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena
yang biasanya terdapat diantara durameter, perdarahan lambat dan
sedikit. Tanda-tanda dan gejalanya adalah :
-
Nyeri kepala
-
Bingung
-
Mengantuk
-
Menarik diri
-
Berfikir lambat
-
Kejang
-
Oedem pupil
Perdarahan
intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya
pembuluh darah arteri, kapiler, vena. Tanda dan gejalanya :
-
Nyeri kepala
-
Penurunan kesadaran
-
Komplikasi pernapasan
-
Hemiplegia kontra lateral
-
Dilatasi pupil
-
Perubahan tanda-tanda vital
-
Perdarahan Subarachnoid
Perubahan
di dalam rongga subarchnoid akibat robeknya pembuluh darah dan
permukaan otak, hamper selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala :
-
Nyeri kepala
-
Penurunan kesadaran
-
Hemiparese
-
Dilatasi pupil ipsilateral
-
Kaku kuduk
Tanda-tanda
Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)
Tekanan
intrakranial (TIK) adalah tekanan atau hubungan volume di antara
kranium dan isi kubah kranium. Volume kranium terdiri atas darah,
jaringan otak, dan cairan serebrospinal (CSS). Peningkatan tekanan
intrakranial merupakan peningkatan CSS lebih dari 15 mmHg. Fakor yang
mempengaruhi kemampuan tubuh untuk dapat menstabilkan tekanan
intrakranial adalah tekanan darah sistemik, ventilasi dan oksigen,
jumlah metabolik dan kebutuhan oksigen (demam, aktifitas, perubahan),
vasopasme area serebral, dan saturasi oksigen serta hematokrit.
Gejala
klinis terjadinya peningkatan TIK :
-
Perubahan tingkat kesadaran disebabkan oleh tekanan serebral.
-
Tingkat kesadaran atau ada tidaknya respon.
-
Amati letargi, respon verbal yang lambat, berbicara pelan.
-
Adanya perubahan kondisi yang mendadak : sulit istirahat, gangguan orientasi, stupor, mengantuk.
-
Keadaan memburuk.
-
Perubahan tanda vital
-
Peningkatan tekanan darah atau tekanan nadi membesar.
-
Perubahan nadi : perubahan bradikardia ke takikardi sebagai peningkatan tekanan intrakranial.
-
Pernapasan tidak teratur, takipnea ( gejala awal adanya peningkatan tekanan intrakranial), pernapasan lambat dengan periode apnea yang memanjang, pernapasan Cheyne-stokes atau Kussmaul.
-
Peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi (sedang)
-
Perubahan papiler disebabkan oleh tekanan pada optik dan saraf okulomotor
-
Perubahan lain
-
Sakit kepala : peningkatan intensitas, keadaan memburuk melalui gerakan atau tegang.
-
Muntah : dengan sedikit mual, mungkin proyektil
-
Perubahan : istirahat, sakit kepala, berusaha bernapas, pergerakan tidak terarah, ganggan mental.
-
Trias Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan)
-
PATOFISIOLOGI
Cedera
kulit kepala
Karena
bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah
bila mengalami cedera dalam. Kulit kepala juga merupakan tempat
masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat menimbulkan abrasi,
kontisio, laserasi atau avulsi.
Fraktur
tengkorak
Fraktur
tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan
oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak.
Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan
yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka/tertutup. Bila
fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup dura tidak
rusak. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur
dan karena alasan yang kurang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa
pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar tengkorak cenderung
melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah
telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari
hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva.
Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan
hidung.
Cidera
otak
Kejadian
cedera “ Minor “ dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna. Otak
tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu
yang bermakna sel-sel cerebral membutuhkan supalai darah terus
menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih
dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir tanpa
henti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat
mengalami regenerasi.
Komosio
Komosio
cerebral setelah cedera kepala adalah kehilangan fase neuologik
sementara tanpa kerusakan struktur. Jika jaringan otak dan lobus
frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku yang aneh dimana
keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia disoreantasi.
Kontusio
Kontusio
cerebral merupakan CKB, dimana otak mengalami memar dan kemungkinan
adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan
diri. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah,
pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat.
Hemoragi
cranial
Hematoma
( pengumpulan darah ) yang terjadi dalam tubuh kranial
adalah akibat paling serius dari cedera kepala. Ada 3 macam hematoma
-
Hematoma Epidural (hematoma Ekstradural)
Setelah
terjadi cedera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural
(ekstradural) diantara tengkorak di dura. Keadaan ini sering
diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri
meningkat tengah putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini
berada diantara dura dan tengkorak daerah frontal inferior menuju
bagian tipis tulang temporal, hemoragi karena arteri ini menyebabkan
penekanan pada otak.
-
hematoma subdural
hematoma
subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak, yang
pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hemoragi sub dural lebih
sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah
kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat
terjadi akut, sub akut atau kronik tergantung pada ukuran pembuluh
darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma subdural
akut: dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kkontusio
atau laserasi. Hematoma subdural subakut: sekrela kontusio sedikit
berat dan dicurigai pada bagian yang gagal untuk menaikkan kesadaran
setelah trauma kepala. Hematoma subdural kronik: dapat terjadi karena
cedera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia. Lansia
cenderung mengalami cedera tipe ini karena atrofi otak, yang
diperkirakan akibat proses penuaan.
-
Hemoragi Intra cerebral dan hematoma
hematoma
intracerebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini
biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak kepala
sampai daerah kecil. Hemoragi in didalam menyebabkan degenerasi dan
ruptur pembuluh darah, ruptur kantong aneorima vasculer, tumor
infracamal, penyebab sistemik gangguan perdarahan.
F.PATHWAYS
-
PENATALAKSANAAN
-
Pedoman Resusitasi Dan Penilaian Awal
-
Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir, jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas, bila pasien harus diintubasi.
-
Menilai penafasan: tentukan apakah pasien bernafas sepontan atau tidak. Jika tidak beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernafas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks, pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi,jika tersedia, dengan tujuan menjaga satutasi oksigen minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindungi bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat ( PaO2 > 95 mmHg dan PaCO2 < 40 mmHg serta saturasi O2 > 95 % ) atau muntah maka pasien harus diintubasi oleh ahli anestesi.
-
Menilai sirkulasi: Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intraabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang alur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan kristaloid ( dekstrosa atau dekstrosa dalam salin) menimbulkan eksaserbasi edema otak pascacedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia, dan hiperkapnia memperburuk cedera kepala.
-
Obati kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberika intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
-
Menilai tingkat keparahan dengan menggunakan GCS
Skala
Koma Glasgow ( Glasgow Coma Scale, GCS )
-
Pedoman Penatalaksanaan
-
Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal ( proyeksi antero-posterior, lateral, dan odontoid ), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal.
-
Pada semua pasien dengan cedera kepalasedang dan berat, lakukan prosedur berikut :
-
-
Pasang jalur interavena dengan larutan salin normal ( NaCl 0,9% ) atau larutan Ringer laktat: cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan larutan lain tidak menambah edema serebri.
-
Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah: glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu.
-
Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto rontgen kepada tidak diperlukan jika CT Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera kepala ringan, sedang, berat, harus dievaluasi adanya :
-
Hematoma epidural
-
Darah dalam subaranoid dan intraventrikel
-
Kontusio dan perdarahan jaringan otak
-
Edema serebri
-
Obliterasi sisterna perimesensefalik
-
Pergeseran garis tengah
-
Fraktur cranium, cairan dalam sinus, dan pneumosefalus
-
Pada pasien yang koma ( skor GCS < 8 ) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan sebagai berikut:
-
Elevasi kepala 30 derajat
-
Hiperventilasi: intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermiten dengan kecepatan 16-20 kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg. Atur tekanan CO2 sampai 28-32 mmHg.Hipokapnia berat ( pCO2 < 25 mmHg ) harus dihindari sebab dapat menyebabkan vasokontriksi dan iskemia serebri.
-
Berikan manitol 20 % 1 g/kg interavena dalam 20-30 menit. Dosis ulang dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama
-
Pasang kateter Foley
-
Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar, hematoma, cedera kepala terbuka, dan faktur impresi > 1 diploe).
-
Penatalaksanaan Khusus
-
Cedera kepala ringan : pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan kerumah tanpa perlu dilakukan pemerikasaan CT Scan bila memenuhi kreteria berikut:
-
-
Hasil pemeriksaan neurologis ( terutama status mini mental dan gaya berjalan ) dalam batas normal.
-
Foto servikal jelas normal.
-
Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan intruksi untuk segera kembali kebagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan.
Kriteria
perawatan di rumah sakit :
-
Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
-
Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
-
Adanya tanda atau dan gejala neurologis fokal
-
Intoksikasi obat atau alcohol
-
Adanya penyakti medis komorbid yang nyata
-
Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien dirumah.
-
Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio), dengan skala koma Glasgow 15 ( sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah ) dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi dirumah. meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intracranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
-
Cedera kepala berat: setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera ( hematoma intracranial yang berat ). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan diunit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau tekanan intracranial yang meningkat.
-
Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi: umumnya, pasien dengan stupor atau koma ( tidak dapat mengikuti perintah karena derajat kesadaran menurun ) harus diintubasi untuk proteksi jalan nafas. Jika tidak ada bukti tekanan intrakranial meninggi, parameter ventilasi harus diatur sampai pCO2 40 mmHg dan pO2 90-100 mmHg.
-
Monitor tekanan darah: jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan hemodinamik ( hipotensi atau hipertensi ), pemantauan paling baik dilakukan dengan keteter arteri. Karena autoregulasi sering terganggu pada cedera kepal akut, maka tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan untuk menghindarkan hipotensi ( < 70 mmHg ) hipertensi ( > 130 mmHg ). Hipotensi dapat menyebabkan iskemia otak sedangkan hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.
-
Pemasangan alat monitor tekanan intracranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila memungkinkan.
-
Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis ( salin normal atau Ringer laktat ) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salain 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dalam menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
-
Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus
diberikan
sesegera mungkin ( biasanya hari ke 2 perawatan ).
Temperatur
badan: demam ( temperature > 101 derajat F) mengeksaserbasi
cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan
asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebab
(antibiotik) diberikan bila perlu.
-
Anti kejang: fenitoin 15-20 mgkg BB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini ( minggu pertama ) dari 14 % menjadi 4 % pada pasien dengan perdarahan intracranial traumatik. Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma dikemudian hari. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karean kadar subtrapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
-
Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terahir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg interavena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam ).
-
Profilaksis thrombosis vena dalam: sepatu bot komprensif pneumatic dipakai pada pasien yang tidak bergerak untuk mencegah terjadinya thrombosis vena dalam pada ekstremitas bawah dan resiko yang berkaitan dengan tromboemboli paru. Heparin 5.000 unit subkutan setiap 12 jam dapat deberikan setelah cedera kepala pasien dengan imobilisasi lama, bahkan dengan adanya perdarahan intracranial (Arif Mansjoer, 2000 ).
-
PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
-
MRI (magnetic resonance imaging) : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
-
Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
-
Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
-
X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
-
BAER (Brain Auditori Evoked Respons ): Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
-
Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
-
ABGs (Artery Blood Gases Analysis ): Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer, 2000)
-
KOMPLIKASI
-
Hemorrhagie.(Pecahnya / keluarnya darah dari pembuluhnya)
-
Infeksi. (invasi dan pembiakan mikroorganisme pada jaringan tubuh, terutama yang menyebabkan cedera seluler lokal )
-
Edema.( pengumpulan cairan secara abnormal dalam ruang jaringan intraseluler tubuh)
-
Herniasi (penonjolan abnormal organ / struktur tubuh lainya melalui cacat / lubang alamiah dalam selaput pembungkus , membran otot , atau tulang) (Arif Mansjoer, 2000).
-
PENGKAJIAN
-
Pengkajian primer
a.
Airway
Kaji
adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena
hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis
b.
Breathing
Inspeksi
frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus dada,
fail chest, gerakan otot pernafasan tambahan.
Kaji adanya suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing.
c.
Sirkulasi
Kaji
adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea,
hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan
produksi urin.
d.
Disability
Kaji
tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.
e.
Eksposure
Buka
semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.
-
Pengkajian sekunder
-
Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesalahan, letargi, hemisparase, quadriplegia, ataksia cara berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastik. -
Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (Hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia, distritmia). -
IntegritasEgo
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, Delirium, Agitasi, bingung, depresi dan impulsif. -
Eliminasi
Gejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi. -
Makanan/Cairan
Gejala : Mual/muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, dispagia), berkeringat, penurunan berat badan, penurunan massa otot/lemak subkutan. -
Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, Amnesia seputar kejadian, Vertigo, Sinkope, tinnitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstrimitas, perubahan pola dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia, gangguan pengecapan dan penciuman
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental, perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris/deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti).
Kehilangan pengindraan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, reflex tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia, quadriplegia, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh -
Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak dapat beristirahat, merintih. -
Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas (apnoe yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi stridor, tersedak, ronkhi, mengi positif. (kemungkinan adanya aspirasi). -
Keamanan
Gejala :Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda :Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan.
Kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye” tanda battle disekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma), adanya aliran (drainage) dari telinga/hudung (CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami pralisis, demam dan gangguan dalam regulasi suhu tubuh. -
InteraksiSosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, berbicara tanpa arti, bicara berulang-ulang,disartria. -
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Penggunaan alkohol atau obat lain.
Rencana pemulangan : membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan makan, belanja, perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang, dan pemanfaatan fasilitas lainnya di rumah sakit.
- DIAGNOSA KEPERAWATAN
-
Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral
-
Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)
-
Kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot pernafasan
-
Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekresi, obstruksi jalan nafas
-
Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan kesadaran
-
Resiko cedera b.d kejang, penurunan kesadaran
-
Gangguan eliminasi urin b.d kehilangan control volunteer pada kandung kemih
-
RENCANA TINDAKAN
-
Diagnosa : gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral
Tujuan
: mempertahankan tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi motorik dan
sensorik
Intervensi
:
-
Kaji faktor penyebab penurunan kesadaran dan peningkatan TIK
-
Monitor status neurologis
-
Pantau tanda-tanda vital dan peningkatan TIK
-
Evaluasi pupil, batasan dan proporsinya terhadap cahaya
-
Kolaburas pemberian oksigen sesuai dengan indikasi, pemasangan cairan IV, persiapan operasi sesuai dengan indikasi
-
Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif
Tujuan
: pola nafas pasien efektif
Intervensi
:
-
Kaji pernafasan (irama, frekuensi, kedalaman) catat adanya otot bantu nafas
-
Kaji reflek menelan dan kemampuan mempertahankan jalan nafas
-
Tinggikan bagian kepala tempat tidur dan bantu perubahan posisi secara berkala
-
Lakukan pengisapan lendir, lama pengisapan tidak lebih dari 10-15 detik
-
Auskultasi bunyi paru, catat adanya bagian yang hipoventilasi dan bunyi tambahan(ronchi, wheezing)
-
Catat pengembangan dada
-
Kolaburasi : awasi seri GDA, berikan oksigen tambahan melalui kanula/ masker sesuai dengan indikasi
-
Monitor pemakaian obat depresi pernafasan seperti sedative
-
Lakukan program medic
-
Diagnosa : kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot pernafasan
tujuan
: pasien mempertahankan oksigenasi adekuat
intervensi
:
-
Kaji irama atau pola nafas
-
Kaji bunyi nafas
-
Evaluasi nilai AGD
-
Pantau saturasi oksigen
-
Diagnosa : Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekret, obstruksi jalan nafas
Tujuan
: mempertahankan potensi jalan nafas
intervensi
:
-
Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misal krekels, mengi, ronchi
-
Kaji frekuensi pernafasan
-
Tinggikan posisi kepala tempat tidur sesuai dengan indikasi
-
Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat warna lendir yang keluar
-
Kolaburasi : monitor AGD
-
Diagnosa : resiko cedera b.d penurunan kesadaran
tujuan
: tidak terjadi cedera pada pasien selama kejang, agitasi atu postur
refleksif
intervensi
:
-
Pantau adanya kejang pada tangan, kaki, mulut atau wajah
-
Berikan keamanan pada pasien dengan memberikan penghalang tempat tidur
-
Berikan restrain halus pada ekstremitas bila perlu
-
Pasang pagar tempat tidur
-
Jika terjadi kejang, jangan mengikat kaki dan tangan tetapi berilah bantalan pada area sekitarnya. Pertahankan jalan nafas paten tapi jangan memaksa membuka rahang
-
Pertahankan tirah baring
-
Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan kesadaran
Tujuan
: tidak terjadi kekurangan kebutuhan nutrisi tepenuhi
Intervensi
:
-
Pasang pipa lambung sesuai indikasi, periksa posisi pipa lambung setiap akan memberikan makanan
-
Tinggikan bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan aspirasi
-
Catat makanan yang masuk
-
Kaji cairan gaster, muntahan
-
Kolaburasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet yang sesuai dengan kondisi pasien
-
Laksanakan program medic
-
Diagnosa : Gangguan eliminasi urin b.d hilangnya control volunter pada kandung kemih
tujuan
: mempertahankan urin yang adekuat, tanpa retensi urin
intervensi
:
-
Kaji pengeluaran urin terhadap jumlah, kualitas dan berat jenis
-
Periksa residu kandung kemih setelah berkemih
-
Pasang kateter jika diperlukan, pertahankan teknik steril selama pemasangan untuk mencegah infeksi
DAFTAR
PUSTAKA
Arif
Mansjoer dkk. (2000). Trauma
Susunan Saraf dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi Ketiga jilid 2.
Jakarta : Media Aesculapius.
Fearnside,
1997 dalam Smeltzer and Brenda. (2000). Keperawatan
Medikal Bedah.
Jakarta : EGC
George
Dkk. (2009). Panduan
Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Syaraf.
EGC : Jakarta
Ginsberg,
Lionel. (2005). Lecture
Notes: Neurology Edisi Kedelapan.
Jakarta : Erlangga.
Muttaqin,
Arif. (2009). Asuhan
Keperwatan Klien Dengan Gangguan Sistem Saraf Persarafan.
Jakarta : Salemba Medika.
Satyanegara.
(2010). Ilmu
Bedah Saraf.
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Smeltzer
and Brenda. (2000). Keperawatan
Medikal Bedah.
Jakarta : EGC
Tarwoto,
et all. (2007). Keperawatan
Medikal Bedah, Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta : Sagung Seto.
Wahjoepramono,
Eka. (2005). Cedera
Kepala.
Lippokarawaci : Universitas Pelita Harapan.